Berikutjawaban yang paling benar dari pertanyaan: Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut.1. Membuat bangunan dengan konstruksi antigempa, 2. Mewaspadai tanda-tanda gempa, 3. Memasang detektor gempa, 4. Membuat bangunan berbahan kayu jati, 5. Mencari posisi hiposentrum gempa. Langkah-langkah mitigasi bencana gempa bumi ditunjukkan nomor
Dilansirdari Ensiklopedia, perhatikan pernyataan-pernyataan berikut.1. melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang kebakaran hutan, 2. membuka lahan tanpa membakar hutan, 3. melakukan patroli hutan secara berkala,4. menanami hutan dengan tanaman tahan panas, 5. menanami hutan secara tumpang sari. langkah-langkah mitigasi kebakaran hutan
Jawaban C. 30. Berikut ini merupakan tujuan dilakukan penyuluhan mitigasi bencana adalah a. meningkatkan biaya ekonomi (economy coast) dan pengelolaan sumber daya alam. b. sebagai acuan untuk prediksi bencana alam yang akan datang. c. meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awarness) dalam menghadapi serta mengurangi dampak/ risiko
Perhatikanpernyataan-pernyataan berikut.1. Mengerjakan sosialisasi ke publik tentang kebakaran alas, 2. Menyibakkan persil tanpa menyemangati hutan, 3. Mengamalkan perondaan jenggala secara berkala,4. Menghutankan jenggala dengan pohon tahan panas, 5. Menanami jenggala secara titip konsentrat. Anju-awalan mitigasi kebakaran hutan ditunjukkan
Melakukansosialisasi ke masyarakar tentang kebakaran hutan. 2. Membuka lahan tanpa membakar hutan. Menanami hutan secara tumpang sari. Langkah-langkah mitigasi kebakaran hutan ditunjukkan nomor A. 1, 2, dan 3 B. 1, 2, dan 4 C. 1, 2, dan 5 D. 2, 4, dan 5 E. 3, 4, dan 5 .
Perhatikanpernyataan-pernyataan berikut.1. Melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang kebakaran hutan, 2. Membuka lahan tanpa membakar hutan, 3. Melakukan patroli hutan secara berkala,4. Menanami hutan dengan tanaman tahan panas, 5. Menanami hutan secara tumpang sari. Langkah-langkah mitigasi kebakaran hutan ditunjukkan nomor? 1,2, dan 3; 1,2
VTuW9Q. Indonesia have 47% of the world's tropical peatland and becomes the fourth largest peatland in the world. The area of peatland in Indonesia is estimated to be million hectares or about percent of Indonesia's land area. Indonesia's peatlands provide many benefits as they provide timber and non-timber forest products, store and supply water, store carbon, and becomed a habitat for biodiversity with variety of rare flora and fauna which can only found in this ecosystem. Peatland is a unique and fragile ecosystem, because it is located in a swamp environment, which lies behind a river embankment. Over the past twenty years, conversion peatlands into agricultural land, palm oil plantations and pulpwood are thought to have damaged peatlands with all their ecological functions. During June to November 2015 forest and land fires occurred in Indonesia which according to World Bank estimated losses of Rp. 221 trillion. In general these disaster occur on the island of Sumatra and Kalimantan. The cause of the fire was allegedly committed intentionally and accidentally by unscrupulous plantation companies and communities to open plantation land, clearing and enriching the land by burned. In addition, extreme drought and strong winds encourage the expansion of fire affected areas. This article is a literature study describing how the restoration method has linked to the mitigation process of peat land fires and how the restoration methods can empower local communities. There are 5 steps in restoration peatlands 1 mapping the peat, 2 determining the type, actors, and restoration timeframe, 3 rewetting, 4 planting peatland revegetation, 5 empowering local communities. Restoration is a special method of forest and peatland fire rehabilitation in which there are activities that support disaster mitigation. Community empowerment has an important role in preventing forest and peat land fires. Communities should not only be burdened to prevent forest fires and peatlands but also get benefit from prevention activities. Restoration activities related to disaster mitigation can be initiated through replanting of affected forests and peatlands with seasonal crops and mixed with tree plants that can reduce carbon or be able to absorb carbon and have high economic value. In addition, the construction of water reservoirs within the peat domes that serve as a source of wetting of peatlands can be utilized for onshore fisheries by local communities. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 448 Sosio Informa Vol. 4, No. 02, Mei - Agustus, Tahun 2018. Kesejahteraan SosialMETODE RESTORASI GAMBUT DALAM KONTEKS MITIGASI BENCANAKEBAKARAN LAHAN GAMBUT DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKATPEATLAND RESTORATION METHOD IN THE CONTEXT OF PEATLAND FIRE DISASTER MITIGATION AND COMMUNITY EMPOWERMENTFebri YulianiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas RiauKampus Bina Widya Km 12,5 Simpang Baru Pekanbaru 28293E-mail febby_sasha RahmanPusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RIJalan Dewi Sartika Cawang III Jakarta Timur 13630E-mail menyumbang 47 % dari luas lahan gambut tropis dunia dan menjadi negara keempat yang memiliki lahan gambut terluas di dunia. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 % dari luas daratan Indonesia. Lahan gambut di Indonesia memberi banyak manfaat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan nonkayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis ora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai. Pada kurun waktu kurang lebih dua puluh tahun terakhir, kegiatan konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit dan kayu kertas pulp wood diperkirakan telah merusak lahan gambut dengan segala fungsi ekologisnya. Sepanjang Juni sampai November tahun 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang menurut World Bank ditaksir kerugian mencapat Rp. 221 triliun. Pada umumnya kebakaran ini terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Penyebab kebakaran tersebut disinyalir dilakukan secara sengaja dan tidak sengaja oleh oknum perusahaan perkebunan dan masyarakat untuk membuka lahan perkebunan, pembersihan dan penyuburan lahan dengan cara membakar. Selain itu, kemarau yang ekstrim dan angin kencang mendorong perluasan daerah terdampak kebakaran. Artikel ini merupakan sebuah studi pustaka yang mendeskripsikan bagaimana metode restorasi memiliki kaitan dengan proses mitigasi bencana kebakaran lahan gambut dan bagaimana metode restorasi dapat memberdayakan masyarakat lokal. Ada 5 langkah dalam merestorasi gambut yaitu 1 memetakan gambut, 2 menentukan jenis, pelaku, dan rentang waktu pelaksanaan restorasi, 3 membasahi gambut rewetting, 4 menanam lahan gambut revegetasi, dan 5 memberdayakan masyarakat lokal. Restorasi merupakan sebuah metode rehabilitasi khusus kebakaran hutan dan lahan gambut yang didalam prosesnya terdapat kegiatan yang mendukung mitigasi bencana. Pemberdayaan masyarakat memiliki peran penting dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut. Masyarakat jangan hanya dibebani untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut namun juga diberikan manfaat dari kegiatan pencegahan itu. Kegiatan Restorasi yang berkaitan dengan mitigasi bencana, dapat dimulai melalui penanaman kembali hutan dan lahan gambut yang terdampak dengan tanaman-tanaman semusim pada umumnya holtikultura dan disandingkan dengan tanaman pohon yang dapat mengurangi kuantitas karbon atau mampu menyerap karbon serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Selain itu, pembangunan lahan penampung air dalam kubah gambut yang berfungsi sebagai sumber pembasahan lahan gambut, dapat dimanfaatkan untuk perikanan darat oleh masyarakat Kunci bencana kebakaran hutan dan lahan, mitigasi bencana, restorasi gambut, pemberdayaan has 47% of the world’s tropical peatland and it becomes the fourth country with the largest peatland in the world. The area of peatland in Indonesia is estimated to be million hectares or about percent of Indonesia’s land peatland in Indoesia provides many advantages as it provides timber and non-timber forest products as 449Metode Restorasi Gambut dalam Konteks Mitigasi Bencana Kebakaran Lahan Gambut dan Pemberdayaan Masyarakat, Febri Yuliani dan Aulia Rahmanwell as stores water and carbon supplies It also becomes a habitat for biodiversity with variety of rare ora and fauna which can only be found in this ecosystem. Peatland is a unique and fragile ecosystem as it is located in a swamp environment behind a river conversion of peatland into agricultural land, palm oil plantation and pulpwood over the past twenty years is thought to have damaged peatland with all its ecological functions. World Bank estimated the forest and land res occurring in Indonesia from June to November, 2005 lost this country up to IDR 221 trillion. The res generally occured in Sumatra and Kalimantan. The causes of the res were allegedly committed intentionally and accidentally by unscrupulous plantation companies and communities. Their purpose was to open plantation land and to clear as well as to enrich the land by burning it. In addition, extreme drought and strong wind encouraged the expansion of re affected areas. This article is a literature study describing how the restoration method has linked to the mitigation process of peatland res and how the restoration methods can empower local communities. There are 5 steps in peatland’s restoration 1 mapping the peatland, 2 determining the type, actors, and restoration timeframe, 3 rewetting the peatland, 4 planting the peatland revegetation, 5 empowering local communities. Restoration is a special method of forest and peatland re rehabilitation in which there are the activities that support disaster mitigation. Community empowerment has an important role to prevent forest and peatland res. Communities should not only be burdened to prevent forest and peatland’s res, but also provided the advantages of preventive activities. Restoration activities related to disaster mitigation can be initiated through replanting affected forests and peatlands with seasonal crops and mixed with the plants that can reduce carbon or absorb carbon and that have high economic value. In addition, the construction of water reservoirs within the peat domes that serve as a source of wetting of peatlands can be utilized for onshore sheries by local forest and land re disaster, disaster mitigation, peatland restoration,community merupakan negara dengan kawasan gambut terluas keempat di dunia setelah Kanada 170 juta hektare, Uni Soviet 150 juta hekatare, dan Amerika Serikat 40 juta hektare Mubekti, 2011, dan Herman, 2016. Kawasan hutan gambut Indonesia dikenal dengan sebutan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan gambut terluas di dunia. Asia Tenggara menjadi kawasan pemilik lahan gambut tropis terbesar di dunia dengan luas 56 % dari total lahan gambut tropis dunia. Indonesia sendiri menyumbang 47 % dari luas lahan gambut tropis dunia, membuatnya menjadi Negara pemilik gambut terbesar di kawasan Asia Tenggara Badan Restorasi Gambut RI, 2016.Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia Subagjo, 1998; Wibowo dan Suyatno, 1998 dalam Wahyunto et al, 2004; Herman, 2016. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan gambut terluas di antara negara tropis. Kawasan gambut ini tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Papua Agus dan Subiksa; 2008. Lahan gambut termasuk vegetasi yang tumbuh di atasnya merupakan bagian dari sumber daya alam yang mempunyai fungsi untuk pelestarian sumber daya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan keanekaragaman hayati, dan pengendali iklim, melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon Wahyunto et al., 2004.Lahan gambut di Indonesia memberi banyak manfaat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis ora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini. Pada kurun waktu kurang lebih dua puluh tahun terakhir, kegiatan konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit, dan kayu kertas pulp wood diperkirakan telah merusak lahan gambut dengan segala 450 Sosio Informa Vol. 4, No. 02, Mei - Agustus, Tahun 2018. Kesejahteraan Sosialfungsi ekologisnya. Pada sisi yang lain, lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai. Pembukaan lahan gambut melalui penebangan hutan land clearing dan drainase yang tidak hati-hati akan menyebabkan penurunan permukaan subsiden yang cepat, pengeringan yang tak dapat balik irreversible drying, dan mudah terbakar Mubekti, 2011.Sepanjang Juni sampai dengan November 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang menurut World Bank ditaksir kerugian mencapat Rp. 221 triliun Badan Restorasi Gambut RI, 2016. Pada umumnya kebakaran ini terjadi pada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Penyebab kebakaran tersebut disinyalir dilakukan secara sengaja oleh oknum perusahaan perkebunan dan masyarakat. Menurut Nursyamsi et al. Badan Restorasi Gambut, 2016, sampai satu dasawarsa belakangan ini lahan gambut lebih banyak dikelola oleh perusahaan skala besar yang melakukan kegiatan perkebunan kayu dan kelapa sawit. Oknum perusahaan perkebunan dan masyarakat membuka lahan perkebunan, pembersihan dan penyuburan lahan dengan cara yang salah ini didukung oleh cuaca panas dan angin kencang sehingga membuat areal terdampak kebakaran semakin meluas pada daerah yang termasuk lahan gambut sehingga membutuhkan waktu lama untuk penanggulangannya. Menurut Agus dan Subiksa 2008, hutan dan lahan gambut dapat terbakar karena kesengajaan atau ketidaksengajaan dan faktor pemicu parahnya kebakaran hutan dan lahan gambut adalah kemarau yang ekstrim misalnya pada tahun El-Nino dan/atau penggalian drainase lahan gambut secara kebakaran ini tidak hanya mengganggu kesehatan dan keamanan masyarakat, kebakaran juga mengganggu aktivitas masyarakat. Selain itu, kebakaran hutan dan lahan juga mengancam keberadaan ora dan fauna. Asap kebakaran hutan dan lahan juga mengganggu penduduk negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Kedua negara ini pun mengirimkan nota protes terhadap pemerintah Indonesia serta menawarkan bantuan secara teknis dalam proses pemadaman kebakaran. Studi literatur ini menggambarkan bagaimana metode restorasi memiliki kaitan dengan proses mitigasi bencana kebakaran lahan gambut dan bagaimana metode restorasi dapat memberdayakan masyarakat Hutan dan Lahan GambutMenurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia PERMENLHK RI No. tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut, menyebut bahwa Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 lima puluh centimeter atau lebih dan terakumulasi pada 1 ayat 2 mendefenisikan ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya. Kompleksitas ekosistem gambut membawa dampak terhadap dinamika pengelolaannya. Terdapat dua variabel yang menunjukkan posisi kebijakan gambut di Indonesia, yaitu nilai keberlanjutan Sustainable Value dan nilai 451Metode Restorasi Gambut dalam Konteks Mitigasi Bencana Kebakaran Lahan Gambut dan Pemberdayaan Masyarakat, Febri Yuliani dan Aulia Rahmanpembangunan Development Value Indrarto, 2015. Diskursus yang mengiringi kebijakan yang ada saat ini, diilhami oleh pengalaman di masa lalu yang telah membawa Indonesia berada pada titik kelam pengelolaan gambut. Akhirnya Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut PPEG yang dinilai banyak pihak merupakan kebijakan yang progresif terhadap orientasi konservasi. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah kemudian merevisi PP ini dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Kesatuan Hidrologis Gambut KHG merupakan dasar dari unit perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Kompleksitas kegiatan pada KHG seperti hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, pemukiman, infrastruktur, dan lain-lain menjadi tantangan terbesar dalam implementasi kebijakan ini, karena wacana yang terbangun sudah menjurus kepada kontestasi antara fungsi lindung dan fungsi budidaya. Para-pihak terkait tentu memiliki peran yang Hidrologis Gambut KHG menurut Pasal 1 ayat 3 dalam Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI No. adalah Ekosistem Gambut yang letaknya di antara 2 dua sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa. Presiden Joko Widodo memberikan perlindungan total pada hutan alam, lahan gambut dan daerah pesisir. Melalui Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor pemerintah melarang pembukaan baru atau eksploitasi lahan gambut untuk pembangunan usaha kehutanan dan perkebunan. Selain itu, melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut BRG dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis lahan gambut akibat kebakaran secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Badan Restorasi Gambut bertugas mencapai tiga sasaran restorasi, yaitu 1 pemulihan hidrologi, vegetasi dan daya dukung sosial-ekonomi ekosistem gambut yang terdegradasi; 2 perlindungan ekosistem gambut bagi penyangga kehidupan; 3 penataan ulang pengelolaan pemanfaatan ekosistem gambut secara berkelanjutan. Dari tugas tersebut, objek yang dikelola oleh BRG adalah Kesatuan Hidrologi Gambut KHG Badan Restorasi Gambut RI, 2016. Manajemen Bencana Terdapat 3 sistem utama yang mengalami kerugian akibat bencana yaitu lingkungan sik physical environment, sosial kependudukan socio-demographic, dan lingkungan terbangun built environment. Karakteristik dari ketiga sistem tersebut menentukan derajat atau tingkat kerugian dari sebuah bencana alam Mileti dan Peek-Gottschlich, 2001, Ketiga sistem dimaksud terdiri dari1. Lingkungan sik Sistem ini berkaitan dengan proses sik alami bumi yang selalu berubah dan dinamis, seperti perubahan iklim dan proses geologi. Kedinamisan pada sistem ini berimplikasi pada kondisi yang tidak menentu pada suatu lingkungan Sosial kependudukan Sistem ini berkaitan dengan distribusi dan komposisi penduduk yang mempengaruhi jumlah dan karakteristik penduduk yang terkena Lingkungan terbangun Sistem ini berkaitan dengan kepadatan bangunan dan fasilitas 452 Sosio Informa Vol. 4, No. 02, Mei - Agustus, Tahun 2018. Kesejahteraan Sosialumum yang menentukan besarnya kerusakan yang akan terjadi dalam sebuah peristiwa alam. Hyogo Framework for Action 2005-2015, mengungkap bahwa kerugian bencana akan semakin besar oleh kerentanan yang disebabkan oleh perubahan demogra, kondisi sosial ekonomi dan teknologi, pembangunan pada zona bahaya tinggi, degradasi lingkungan, perubahan iklim, bahaya geologi, kelangkaan sumberdaya, dan dampak 2003 menyebutkan bahwa terdapat tiga masalah utama akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan, yaitu; 1 pencemaran kabut asap, emisi karbon dan dampak terkait lainnya; 2 degradasi hutan, deforestasi dan hilangnya hasil hutan; dan 3 kerugian di sektor pedesaan akibat kebakaran hutan dan itu, Rahman 2016 menyebutkan bahwa kegiatan penanggulangan bencana alam tidak hanya menjadi tanggung jawab suatu bangsa atau negara tertentu tetapi merupakan tanggung jawab seluruh umat manusia karena penanggulangan bencana alam merupakan bagian dari tanggung jawab kemanusiaan atau kehumanitarian sehingga hal ini mendorong beberapa negara untuk melakukan gerakan untuk bersama-sama proaktif terhadap penanggulangan bencana melalui Deklarasi Hyogo atau dikenal juga dengan kerangka kerja Hyogo Hyogo Framework for Action/H FA 2005 - 2015. Berikut ini adalah lima prioritas aksi utama aksi Hyogo APEC, 2009, 1 Make Disaster Risk Reduction as Priority; 2 Know The Risk and Take Action; 3 Build Understanding and Awareness; 4 Reduce Risk; dan 5 Be Prepared and Ready to Acl. Kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Sendai yang menghasilkan kerangka kerja Sendai untuk pengurangan risiko bencana 2015 - 2030 dengan 4 prioritas aksi BNPB, 2015, antara lain 1 Memahami risiko bencana; 2 Penguatan tata kelola risiko; 3 Investasi PRB untuk Resiliensi; dan 4 Meningkatkan manajemen pengelolaan bencana disaster management merupakan suatu siklus dalam upaya penanggulangan bencana. Carter Rahman, 2016 mendenisikan pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan atau aplikatif yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan measures terkait dengan preventif pencegahan, mitigasi pengurangan, persiapan, respon darurat, pemulihan dan pembangunan kembali. Selanjutnya, Carter menyebutkan bahwa tujuan dari manajemen bencana di antaranya, yaitu mengurangi atau menghindari kerugian secara sik, ekonomi maupun jiwa yang dialami oleh perorangan, masyarakat negara, mengurangi penderitaan korban bencana, mempercepat pemulihan, dan memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang kehilangan tempat ketika kehidupannya LPPS-KWI, 2001 juga mengatakan bahwa penanggulangan bencana atau sering disebut sebagai disaster management merupakan suatu proses yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan penanganan rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan preventive, mitigasi mitigation, kesiapsiagaan preparedness, tanggap darurat response, rehabilitasi rehabilitation atau evakuasi, dan pembangunan kembali development.Selain itu, Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam Pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang 453Metode Restorasi Gambut dalam Konteks Mitigasi Bencana Kebakaran Lahan Gambut dan Pemberdayaan Masyarakat, Febri Yuliani dan Aulia Rahmanberisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan dalam undang-undang tersebut, menjelaskan upaya-upaya penanggulangan bencana, antara lain 1. Kesiapsiagaan Pasal 1 ayat 7 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna..2. Peringatan dini Pasal 1 ayat 8 adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. 3. Mitigasi Pasal 1 ayat 9 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan sik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 4. Tanggap darurat bencana Pasal 1 ayat 10 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. 5. Rehabilitasi Pasal 1 ayat 11 adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. 6. Rekonstruksi Pasal 1 ayat 12 adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Gambar 1. Siklus Penanggulangan BencanaSumber Rahman, karena itu, penanggulangan bencana dapat disimpulkan sebagai sebuah siklus proses manajemen yang berisi tentang kegiatan pencegahan preventive, mitigasi mitigation, kesiapsiagaan preparedness, tanggap darurat response, rehabilitasi rehabilitation atau evakuasi, dan pembangunan kembali development pada 3 tiga periode yakni sebelum bencana prabencana, saat bencana, dan setelah bencana pascabencana. Terkait dengan manajemen bencana kebakaran lahan gambut khususnya pada rehabilitasi bencana, ada suatu upaya untuk mengembalikan kondisi hutan dan lahan gambut yang terbakar yang sering disebut restorasi. Bagaimana hubungan mitigasi dengan restorasi? 454 Sosio Informa Vol. 4, No. 02, Mei - Agustus, Tahun 2018. Kesejahteraan SosialRestorasi GambutRestorasi gambut merupakan proses untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari menyusutnya lahan gambut. Jika dipahami dari sisi denisi, restorasi merupakan upaya yang sama dari tahapan manajemen bencana yang disebut rehabilitasi. Tetapi, pada tahap restorasi, melekat juga unsur-unsur mitigasi yakni pada 5 langkah restorasi hutan dan lahan gambut. Center for International Forestry Research/CIFOR menyampaikan langkah-langkah dalam merestorasi gambut yaitu 1 memetakan gambut; 2 menentukan jenis, pelaku, dan rentang waktu pelaksanaan restorasi, 3 membasahi gambut rewetting; 4 menanam lahan gambut revegetasi; 5 memberdayakan masyarakat lokal. Langkah pertama, yaitu pemetaan hutan dan lahan gambut. Pemetaan lahan gambut sangat diperlukan agar bisa menentukan lokasi gambut yang menyusut dan mengetahui tipe serta kedalamannya. Pemetaan hutan dan lahan gambut, dapat membantu mengurangi berkurangnya area lahan gambut akibat konversi lahan melalui kebijakan-kebijakan yang tepat guna berlandaskan temuan-temuan kajian lahan gambut. Pemetaan ini juga merupakan langkah awal yang rumit, karena kondisi gambut yang berbeda memerlukan jenis restorasi yang berbeda pula, misalnya dalam menentukan letak pembuatan sekat kanal untuk mengatur kadar bisa melakukan upaya restorasi yang tepat, maka masyarakat harus menggunakan metodologi yang tepat juga. Seperti yang pemerintah lakukan yaitu, menciptakan Kesatuan Hidrologis Gambut KHG, agar memudahkan perlindungan dan pengelolaan gambut. Langkah yang kedua, menentukan jenis, pelaku, dan rentang waktu pelaksanaan restorasi, Setelah melakukan pemetaan gambut, pelaku restorasi dapat menentukan jenis restorasi yang sesuai dengan kondisi gambut. Ada gambut yang melewati proses pembasahan terlebih dahulu ada pula yang langsung di tanam ulang, dan ada juga yang melalui proses pembersihan gambut, misalnya gambut terkena kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, atau kayu maka gambut harus di bersihkan terlebih dahulu. Setelah menentukan jenis restorasi, lalu menentukan pemangku mana saja yang terlibat. Kemudian menentukan rentang waktu pelaksanaan restorasi, misalnya yang pemerintah tetapkan sekarang ini menentukan rentang waktu selama lima yang ketiga, yaitu membasahi gambut rewetting. Membasahi kembali lahan gambut perlu dilakukan agar gambut tetap lembab dan tetap terjaga manfaatnya juga agar gambut sulit terbakar. Pada langkah ini, yang kita lakukan adalah menata air. Menata air dengan cara membuat sekat kanal, agar air tetap berada di lahan gambut dan membantu daerah yang mengalami kekeringan air. Terkait dengan langkah pembasahan lahan gambut, Widjaja-Adhi Agus dan Subiksa, 2008 menyarankan agar wilayah ekosistem lahan gambut dibagi menjadi 2 kawasan yaitu kawasan nonbudidaya dan kawasan budidaya. Kawasan nonbudidaya terdiri dari a jalur hijau sepanjang pantai dan tanggul sungai dan b areal tampung hujan yang luasnya minimal 1/3 dari seluruh kawasan. Kawasan yang dijadikan sebagai areal tampung hujan adalah bagian kubah gambut peat dome sehingga harus menjadi kawasan konservasi. Kubah gambut berfungsi sebagai penyimpan air resevoir yang bisa mensuplai air bagi wilayah di sekitarnya, terutama pada musim kemarau, baik untuk air minum maupun usaha tani. Pada musim hujan 455Metode Restorasi Gambut dalam Konteks Mitigasi Bencana Kebakaran Lahan Gambut dan Pemberdayaan Masyarakat, Febri Yuliani dan Aulia Rahmankawasan ini berfungsi sebagai penampung air yang berlebihan sehingga mengurangi risiko banjir bagi wilayah di sekitarnya. Hal ini dimungkinkan karena gambut memiliki daya memegang air sangat besar yaitu sampai 13 kali bobot keringnya. Perlindungan terhadap kawasan tampung hujan akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih yang keempat, penanaman kembali lahan gambut revegetasi; Setelah proses rewetting selesai maka lahan gambut dapat ditanami oleh tanaman semusim yang ramah gambut seperti nanas, kakao, kopi dan lain sebagainya Agus dan Subiksa, 2008. Penanaman lahan gambut agar menjaga keberlangsungan ekosistem gambut, memperkokoh sekat kanal, serta melindungi lahan gambut dari kikisan aliran air yang terakhir, yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat lokal. Tak hanya berhenti pada pulihnya ekologi dan penanaman ulang, restorasi juga harus memperhatikan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, agar terciptanya sumber daya alam dan sumber daya manusia yang Restorasi Gambut dan Mitigasi BencanaMitigasi merupakan salah satu upaya untuk mengurangi resiko bencana, yang dilakukan dengan membuat bangunan/struktur dan membangun kapabilitas sumber daya manusia yang bertujuan untuk menghindari dan atau mengurangi resiko dari Gambar 1. digambarkan bahwa mitigasi merupakan awal mula dari proses pencegahan pada siklus penanggulangan bencana. Carter Rahman, 2016 mendefenisikan mitigasi sebagai tindakan yang bertujuan mengurangi dampak dari bencana alam atau bencana buatan manusia pada suatu bangsa atau itu, Carter Rahman, 2016 membagi mitigasi menjadi dua cara, yaitu mitigasi sik dan mitigasi nonsik. Mitigasi sik Structure Mitigation merupakan keseluruhan upaya yang bertujuan meminimalisir risiko bencana dan dampaknya melalui pembangunan infrastruktur. Mitigasi nonsik Nonstructure Mitigation merupakan keseluruhan upaya yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana dan dampaknya dengan cara meningkatkan kemampuan baik sik maupun teknik melalui kegiatan yang dapat meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Bencana kebakaran hutan dan lahan memiliki metode khusus dalam penanganannya, terutama dalam proses pencegahan. Oleh karena itu, metode yang digunakan tidak hanya memperhatikan aspek pengurangan resiko bencana namun juga bersanding dengan aspek pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk menerapkan pencegahan bencana yang berkelanjutan. Maka masyarakat menjadi komponen utama dalam proses pencegahan ini. Mitigasi sebagai salah satu komponen pada sistem pencegahan mengedepankan peran masyarakat. Mengutip istilah Carter 2008, masyarakat sebagai “disaster front” dalam penanggulangan bencana karena masyarakat yang paling mengetahui karakter tempat tinggal dan keadaan sosial yang ada. Upaya untuk meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan salah satu bentuk dari mitigasi nonsik. Pada upaya restorasi, kegiatan pemetaan hutan dan lahan gambut, menentukan jenis, pelaku, dan rentang waktu pelaksanaan restorasi serta pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat diasumsikan sebagai upaya mitigasi nonsik 456 Sosio Informa Vol. 4, No. 02, Mei - Agustus, Tahun 2018. Kesejahteraan SosialSementara itu, mitigasi sik yang dilakukan dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut dilakukan dengan membangun sistem pengelolaan tata air water management yang berfungsi sebagai pendukung program membasahi hutan dan lahan gambut rewetting serta penanaman kembali revegetasi hutan dan lahan gambut yang terdampak kebakaran. Sistem pengelolaan tata air dapat dilakukan dengan membangun sumur dan kanal air sehingga hutan dan lahan gambut dapat terjaga kelembabannya. Sedangkan penanaman hutan dan lahan gambut dilakukan untuk menjaga keberlangsungan ekosistem gambut dan dilakukan penanaman dengan tanaman yang dapat menyesuaikan dengan kondisi gambut dan juga memiliki dampak sebagai pendorong dalam peningkatan ekonomi metode restorasi bukan merupakan metode mitigasi secara penuh, melainkan sebuah metode rehabilitasi khusus kebakaran hutan dan lahan gambut yang didalam prosesnya terdapat kegiatan yang mendukung mitigasi bencana. Hal ini terlihat pada upaya mitigasi yang terdiri dari mitigasi sik dan nonsik dalam suatu bencana merupakan upaya yang sama dengan restorasi dimana didalamnya memiliki upaya yang bersifat sik dan nonsik Gambut dan Pemberdayaan MasyarakatSalah satu tahapan dalam restorasi hutan dan lahan gambut adalah pemberdayaan masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat ini juga merupakan bentuk dari mitigasi nonsik. Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah proses dan menjadi tujuan tambahan untuk memperkuat peran masyarakat pada upaya menjaga hutan dan lahan gambut dari kemungkinan bencana kebakaran. Menurut Fahrudin 2012, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat yang dilakukan dengan upaya sebagai berikut1. Enabling, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan cara mendorong encourage, memotivasi dan membangkitkan kesadaran awareness akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk Empowering, yaitu meningkatkan kapasitas dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata seperti penyediaan berbagai masukan input serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang dapat membuat masyarakat menjadi makin berdaya. 3. Protecting, yaitu melindungi kepentingan dengan mengembangkan sistem perlindungan bagi masyarakat yang menjadi subjek pengembangan. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi dalam hal ini dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang pemberdayaan masyarakat memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan sosial karena tidak hanya membangun dari aspek ekonomi namun juga menggugah aspek sosial masyarakat, seperti yang yang diutarakan Mardikanto 2014, bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat dapat disimpulkan pada enam poin, yaitu1. Perbaikan kelembagaan better institution. Dengan perbaikan kegiatan atau tindakan yang dilakukan, diharapkan akan 457Metode Restorasi Gambut dalam Konteks Mitigasi Bencana Kebakaran Lahan Gambut dan Pemberdayaan Masyarakat, Febri Yuliani dan Aulia Rahmanmemperbaiki kelembagaan, termasuk pengembangan jejaring kemitraan usaha. 2. Perbaikan usaha better business. Perbaikan pendidikan semangat belajar, perbaikan aksesibisnislitas, kegiatan dan perbaikan kelembagaan, diharapkan akan memperbaiki bisnis yang Perbaikan pendapatan better income. Dengan terjadinya perbaikan bisnis yang dilakukan, diharapkan akan dapat memperbaiki pendapatan yang diperolehnya, termasuk pendapatan keluarga dan Perbaikan lingkungan better environment. Perbaikan pendapatan diharapkan dapat memperbaiki lingkungan sik dan sosial, karena kerusakan lingkungan seringkali disebabkan oleh kemiskinan atau pendapatan yang terbatas. 5. Perbaikan kehidupan better living. Tingkat pendapatan dan keadaan lingkungan yang membaik, diharapkan dapat memperbaiki keadaan kehidupan setiap keluarga dan masyarakat. 6. Perbaikan masyarakat better community. Kehidupan yang lebih baik, yang didukung oleh lingkungan sik dan sosial yang lebih baik, diharapkan akan terwujud kehidupan masyarakat yang lebih baik restorasi hutan dalan lahan gambut yang terkena kebakaran tidak hanya melihat dari sisi bencana saja, namun juga menyasar sisi pemberdayaan lingkungan dan masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut. Pada upaya restorasi terdapat dua langkah yang bisa memacu masyarakat untuk membantu pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut sekaligus memberdayakan potensi masyarakat untuk peningkatan ekonomi. Dua upaya itu yakni, pada langkah revegetasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Dua tahap ini memiliki keterkaitan, sehingga tahapan ini harus dilakukan dengan kesinambungan. Pada tahap revegetasi dapat dilakukan dengan melakukan penanaman tanaman semusim dan pohon-pohonan. Balai Besar Litbang SDLP Badan Restorasi Gambut, 2016 merekomendasikan penanaman tanaman semusim atau tanaman pangan harus disesuaikan dengan jenis kedalaman gambut. Tanaman semusim, merupakan jenis tanaman yang mampu menambat jumlah karbon dan pohon-pohonan yang mampu menyerap karbon dan tidak menyerap air secara besar seperti sagu dan karet. Hal ini ditegaskan oleh Agus dan Subiksa 2008, tanaman pohon-pohonan menyumbangkan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman semusim. Namun karena sawit memerlukan drainase yang relatif dalam, maka penambatan karbon oleh tanaman sawit jauh lebih rendah dibandingkan dengan emisi karena terdekomposisinya gambut. Dengan demikian, gabungan dari tanaman yang menambat CO2 dalam jumlah banyak serta yang toleran dengan drainase dangkal atau tanpa drainase seperti sagu dan karet, merupakan pilihan utama dalam konservasi lahan gambut. Oleh karena itu, pada hutan dan lahan gambut yang terkena bencana kebakaran tidak disarankan ditanam kembali dengan pohon sawit. Jenis tanaman semusim dan pepohonan seperti padi, cabe, terong dan lain sebagainya serta sagu dan karet tidak hanya mampu mengendalikan karbon namun juga berdampak secara ekonomi bagi masyarakat. oleh sebab itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam restorasi lahan gambut khususnya untuk peningkatan ekonomi berkaitan erat dengan areal tampung hujan pada kubah gambut peat dome dan sekat kanal pada aliran air sungai yang berguna untuk proses pembasahan hutan dan lahan gambut pada musim kemarau dapat juga dimanfaatkan 458 Sosio Informa Vol. 4, No. 02, Mei - Agustus, Tahun 2018. Kesejahteraan Sosialsecara ekonomi. Potensi ini dapat digunakan untuk perikanan darat bagi masyarakat sekitar hutan dan lahan masyarakat memiliki peran penting dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut. Hal ini ditegaskan oleh Susanto Kompas, 27 April 2018 bahwa kalau masyarakat diajak mencegah kebakaran hutan tetapi tidak diberi manfaat, itu akan sulit. Kesejahteraan perlu diberikan atau diperhatikan. Oleh karena itu, ada beberapa program seperti Desa Siaga Api yang muncul pada tahun 2016, kemudian berkembang pada tahun 2017 menjadi Desa Makmur Peduli Api. Kedua Program dikembangkan oleh pihak swasta sebagai bentuk dari Community Sosial Responbility CSR perusahaan perkebunan di Kalimantan Barat Kompas, 27 April 2018 yang bertujuan agar masyarakat dapat membuka lahan tanpa membakar dan dapat memperoleh ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak swasta, pihak pemerintah khususnya Kementerian Sosial dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB dapat juga menumbuhkan sikap awareness dari masyarakat dengan menginisiasi pembentukan Kampung Siaga Bencana KSB dan Desa Siaga Bencana khususnya pada masyarakat yang berada di sekitar hutan dan lahan gambut, serta untuk permodalan usaha dapat dibantu dengan intervensi program Kelompok Usaha Bersama KUBE dan juga pihak pemerintah melalui bank-bank nasional menyalurkan Kredit Usaha Rakyat KUR untuk membantu permodalan masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut namun harus dipastikan jika lahan itu merupakan lahan budidaya atau lahan yang dapat dikelola oleh masyarakat bukan lahan berbagai pihak termasuk masyarakat diyakini mampu mereduksi kasus kebakaran hutan dan lahan gambut. Sebagai contoh, titik panas di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat pada 2015 mencapai 213. Namun, pada 2016 titik panas turun menjadi 23 dan tahun 2017 sebanyak 12. Selain itu, laporan kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyebutkan bahwa titik panas yang terpantau dari citra satelit pada kasus kebakaran hutan dan lahan turun signikan, tahun 2015 terpantau titik panas, tahun 2016 sebanyak dan tahun 2017 sebanyak Kompas, 27 April 2018. PENUTUPPenurunan kuantitas titik panas rentang tahun 2015 sampai dengan 2016 menjadi starting poin bahwa mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan gambut melalui restorasi harus dilaksanakan secara hutan dan lahan gambut memang memerlukan penanganan secara khusus. Kegiatan restorasi haruslah mendukung upaya mitigasi yang dilakukan dengan tidak hanya terfokus pada hutan dan lahan gambut yang rentan terhadap bencana namun juga harus menggandeng masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut. Masyarakat tidak hanya diberikan edukasi akan bahaya membuka lahan dengan cara membakar namun juga harus diberikan informasi mengenai bagaimana mengelola hutan dan lahan gambut untuk mencegah terjadinya kembali kebakaran hutan dan lahan gambut. Restorasi hutan dan lahan gambut tidak hanya bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologi hutan dan lahan gambut namun juga sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Kegiatan Restorasi yang berkaitan erat dengan mitigasi bencana kebakaran hutan 459Metode Restorasi Gambut dalam Konteks Mitigasi Bencana Kebakaran Lahan Gambut dan Pemberdayaan Masyarakat, Febri Yuliani dan Aulia Rahmandan lahan gambut, dapat dimulai melalui penanaman hutan dan lahan gambut yang terdampak dengan tanaman-tanaman semusim pada umumnya holtikultura dan disandingkan dengan tanaman pohon yang dapat mengurangi kuantitas karbon atau mampu menyerap karbon serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat seperti sagu dan itu, pembangunan lahan penampung air dalam kubah gambut yang berfungsi sebagai sumber pembasahan lahan gambut, dapat dimanfaatkan untuk perikanan darat oleh masyarakat setempat. Jadi, upaya mitigasi bencana yang beririsan dengan proses restorasi tidak hanya membebankan pada partisipasi masyarakat tetapi juga memberikan manfaat atas keterlibatan dari masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat ini menjadi poin penting dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut. Proses restorasi yang membantu pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui konsep Government to Government atau lintas lembaga pemerintah. Salah satu contoh, Kementerian Sosial dapat ikut serta dalam kegiatan restorasi dengan inisiasi program Kelompok Usaha Bersama KUBE. Program KUBE dapat menyasar masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut. Program ini tidak hanya bertujuan secara ekonomi tetapi juga meningkatkan ikatan sosial anggota KUBE dan lingkungannya. Selain itu, pelibatan unsur swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam hal permodalan usaha dan juga pendampingan yang berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKAAgus, F. dan M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre ICRAF.Asia Pacic Economy Community. 2009. Strategy for Disaster Risk Reduction and Emergency Preparedness and Response in the Asia Pacic region 2009 to 2015. Lima Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia. 2015. Kerangka Kerja Sendai 2015-2030 untuk Pengurangan Risiko Bencana. Jakarta BNPB Restorasi Gambut Republik Indonesia. 2016. Rencana Strategis Restorasi Gambut 2016-2020. Jakarta BRG 2016. Mengawali Restorasi Gambut Indonesia Laporan Tahunan 2016. Jakarta BRG W. N. 2008. Disaster Management “A Disaster Managers Handbook. Manila Asian Develompent Adi. 2010. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Bandung November, 2016. “Upaya Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut Melalui Pengembangan Industri Perkebunan Sagu”. Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Jilid I Tahun 2016, LPPM Universitas Lambung Mangkurat, 54 – Giorgio Budi. 2015. Aspek Legalitas dari Perlindungan dan Pengelolaan Gambut di Indonesia Presentasi Power Point. IPN Toolbox Tema A Subtema A3. Diakses melalui dan CORDAID. 2001. “Penanganan Bencana Kumpulan Bahan-Bahan Pelatihan Penanganan Bencana”, Seri Forum LPPS Nomor Totok. 2014. CSR Corporate Social Responsibility Tanggungjawab Sosial Korporasi. Bandung Alfabeta. 460 Sosio Informa Vol. 4, No. 02, Mei - Agustus, Tahun 2018. Kesejahteraan SosialMileti. Dennis dan Peek-Gottschlich, Lori. 2001. Hazards and Sustainable Development in the United States. Risk Management An International Journal, 3 1 January. 2011. “Studi Pewilayahan dalam Rangka Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan di Provinsi Riau”. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 13, No. 2, Agustus 2011, 88 – Gambut http//www. gambut/langkahlangkah-restorasi-gambut, diakses tgl. 02 Mei Aulia. 2015. Analisis Pelaksanaan Mitigasi Bencana Melalui Taruna Siaga Bencana Tagana di Kabupaten Serang dan Kabupaten Sukabumi untuk Mendukung Ketahanan Daerah Tesis Program Pascasarjana Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia. - 2016. “Peran Taruna Siaga Bencana Dalam Mitigasi Bencana di Kabupaten Serang dan Kabupaten Sukabumi”. Jurnal Sosio Konsepsia September-Desember 2016, 56 – Indonesia. 2007. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Republik Indonesia. 2016. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Republik Indonesia. 2016. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut. Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 1/2/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut. Subagjo, H. 1998. Karakteristik Bio-Fisik Lokasi Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Pasang Surut, Sumatera Selatan. Pusat Penelitian dan Agroklimat. Tidak dipublikasikan. Tacconi, L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Bogor Center for International Forestry Research CIFOR.Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo 2004. “Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Kalimantan/Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan, 2000 – 2002”. Wetlands International, Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada WHC.Wibowo, P. dan N. Suyatno. 1998. “An Overview of Indonesian Wetlands Sites – II”. Wetlands International – Indonesia Programme WI-IP.Susanto, Yang. 2018, April 27. Fokus pada Kesejahteraan. Kompas, 12. ... Indonesia has extensive peatlands and always experiences recurring fires [1]. Losses due to forest and land fires that occurred during June to November 2015 according to the World Bank reached Rp. 221 trillion [2]. Large-scale fires in Indonesia have caused widespread deforestation and caused haze and pollution, thus reducing air quality [3]. ...... Although the social vulnerability in the Banjarbaru area is medium-high, with good community awareness in overcoming land fires, social vulnerability can be reduced. Community empowerment has an important role in efforts to prevent forest and peatland fires [2]. The capacity and preparedness of the community is quite high in facing disasters, so it can reduce the risk of a disaster [30]. ...Rizka Khairunnisa Roni Ekha PuteraYoserizal YoserizalKampar Regency is one of the areas that are included in six areas prone to smog in Riau Province. Moreover, of the six smog-prone areas in Riau Province, Kampar Regency is also the district with the largest population of the other five regions. Thus, inevitably resulting in more and more people being affected by the emergence of smog. Thus, of course the Kampar Regency Government has coordinated with relevant agencies in overcoming this haze disaster. The purpose of this study was to determine and analyze the implementation of the coordination of the Kampar Regency Government in Haze Disaster Management. The research method used is qualitative descriptive through in-depth interviews with competent parties stating that in measuring coordination there are four main variables, namely unity of action, division of labor, communication and discipline. Based on the results of the study it can be concluded that the coordination of the Kampar Regency government in dealing the haze disaster has been running quite SintaThe One Million Hectare Peat Clearing Project PLG in Central Kalimantan, designed as a rice granary in 1995, has become the door to ecological disasters on peatlands. Canalization that drains the peatlands excessively has sparked fires over the past 23 years, especially during the long dry season. Given the large losses incurred and the high budget for land fire suppression, pre-disaster management is important, one of which is through the concept of disaster literacy. Disaster literacy in this case is a non-structural mitigation approach that focuses on skills and understanding of disasters to reduce disaster risk. This study aims to see the application of the concept of disaster literacy, especially to young peatland farmers who are directly involved in agricultural management in a broad sense through the various existing literatures. The discussion will cover a lot of local wisdom of the community in managing peatlands in relation to the prevention of peatland RahmatullahOwin Jamasy DjamaludinThe province of East Kalimantan has significant peatlands. Covering an area of 700,000 HA, spread across Kutai Kartanegara Regency, East Kutai Regency and West Kutai Regency. This valuable asset must be empowered to be efficient for the life of the surrounding ecosystem. Swamp and freshwater fish habitat that is around peatlands is a natural potential that has historically been of economic value, which is a condition to be developed on the basis of an empowerment model. The people who live around the swamp and peat have traditionally made swamps and fish their main livelihoods. It is appropriate that the empowerment of peat ecosystems is one of the targets and strategic development agenda, with the support of recommendations from the results of scientific and professional studies. Analysis of the study that began in the period April - November 2016 on the program of recovery and development of peat ecosystems, is one of the innovations to control the damage to peat ecosystems in order to provide solutions and new hopes for peat ecosystem recovery with the target of achieving sustainable prosperity. In 2019 the results of the analysis of this study have been verified and considered as a periodic monitoring and evaluation tool. Analysis of the study was conducted in a participatory manner with the Participatory Rural Appraisal PRA principle. A number of analytical tools used by the process of finding data include the formation of a Peat Ecosystem Recovery and Control Work Team TK-PPEG, preparation of a peat ecosystem-based social map, transect walk, and preparation of program options which are then packaged in the form of a Community Work Plan RKM. The recommended forms of strategic programs include stabilizing water status on peatlands by building canal blocking and developing agricultural demonstration plots or fish cultivation. The method of collecting data and information is done through observation, interviews and focused discussion or what is commonly called a focus group discussion FGD. The data generated from the PRA tool is then analyzed descriptively to illustrate the strategies and programs that are the solution in the efforts to restore and control the peat ecosystem. A critical note is that the management of the peatland hydrological area for agricultural and fishery commodities, must pay attention to their suitability for their utilization and use space. Another aspect is the optimization of community participation in each utilization of peatlands may decline the ecological functions of peatlands as carbon sink, water storage and biodiversity source. Therefore, different scientific approaches are required to increase peat productivity and inhibit decline in the ecological functions of peatlands. This article is aimed to provide information on researches that have been carried out in tropical peats in the South Kalimantan Province. The exploration and the potential utilization of microbes was reviewed from several studies conducted in the Desa Landasan Ulin Utara LaURa, Kota Banjarbaru, South Kalimantan Province. Peat research carried out in the Desa LaURa during the dry season after peat fires in 2015 showed that microbial SRBM mixture of N fixing, solubilizing P and cellulolytic microorganisms from the modified recharge bio-pore system was able to improve the growth of roots, stems, and leaves, nutrient uptake, and increase production and biomass of soybean. In another research in 2018, the use of commercial biofertilizers containing Azotobacter sp and Lactobacillus sp applied to the LaURa peats significantly increased the total N and pH of peats but did not accelerate the decomposition of peat materials. In subsequent study on the exploration of nitrogen fixing microorganisms from the LaURa peats sapric peats which amounted to 10 ³⁷⁵ -10 ⁵⁰⁰ cells g ⁻¹ , the total N-fixing microbial population was correlated positively to the pH and EC of peats, and correlated negatively to the contents of peat organic C. Combining the results, the total N2 fixing microbial NFM population was significantly affected by organic C and peat EC total NFM population = + pH + EC, R ² = Results obtained from these studies demonstrated that the functional microbes of peatlands are able to maintain ecological functions of the MubektiA preliminary study of peat sustainable development zoning was conducted in Riau Province. The background of the study explains the potential of peat land and the role of management planning regarding to sustainable development. The analysis of peat area and its distribution is based on the existing data and field survey. Then peat ecological zoning is derived by using land evaluation method. A brief description of peat is presented to clarify peat formation, peat characteristics, peat role, and carbon emission from peat. The results of field observation show that ahuge of peat area has been unwise exploited, especially for palm oil plantation, and industrial forest estate. The total area of peat land in Riau resulting from the analysis is hectares, where Indragiri Hilir has the largest among districts in the Province. Peat area can be divided into 4 zones based on its depth, namely 1 food crop, horticulture, plantation estate, and industrial forest estate, 2 horticulture, plantation estate, and industrial forest estate, 3 plantation estate, and industrial forest estate, and 4 conservation area. The cultivated land of peat covers hectares whereas the un-cultivated land covers hectares Dennis MiletiLori Peek-GottschlichIt has become clear that natural and related technological hazards and disasters are not a problem that can be solved in isolation. Rather, the occurrence of a disaster is a symptom of broader and more basic problems. Since 1994 a team of over 100 expert academics and practitioners—including some from the private sector—have assessed, evaluated, and summarized knowledge about natural and technological hazards in the United States, from the perspectives of the physical, natural, social and behavioral, and engineering sciences. The major thesis of the findings from this national project is that hazard losses, and the fact that there seems to be an inability in the US to reduce those losses, are the consequences of narrow and short-sighted development patterns, cultural premises, and attitudes toward the natural environment, science, and technology. A way is proposed for people and the US to take responsibility for disaster losses, to design future hazard losses, and to link hazard mitigation to sustainable Gambut Potensi untuk Pertanian dan Aspek LingkunganF I G M Daftar Pustaka AgusSubiksaDAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre ICRAF.Strategy for Disaster Risk Reduction and Emergency Preparedness and Response in the Asia Pacific regionAsia Pacific Economy Community. 2009. Strategy for Disaster Risk Reduction and Emergency Preparedness and Response in the Asia Pacific region 2009 to 2015. Lima Strategis Restorasi GambutBadan Restorasi Gambut RepublikIndonesiaBadan Restorasi Gambut Republik Indonesia. 2016. Rencana Strategis Restorasi Gambut 2016-2020. Jakarta BRG Mengawali Restorasi Gambut Indonesia Laporan Tahunan 2016. Jakarta BRG Management "A Disaster Managers HandbookW N CarterCarter, W. N. 2008. Disaster Management "A Disaster Managers Handbook. Manila Asian Develompent Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut Melalui Pengembangan Industri Perkebunan SaguHermanHerman. November, 2016. "Upaya Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut Melalui Pengembangan Industri Perkebunan Sagu". Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Jilid I Tahun 2016, LPPM Universitas Lambung Mangkurat, 54 Legalitas dari Perlindungan dan Pengelolaan Gambut di Indonesia Presentasi Power Point. IPN Toolbox Tema A Subtema A3Giorgio IndrartoBudiIndrarto, Giorgio Budi. 2015. Aspek Legalitas dari Perlindungan dan Pengelolaan Gambut di Indonesia Presentasi Power Point. IPN Toolbox Tema A Subtema A3. Diakses melalui
Perhatikan pernyataan-pernyataan Melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang kebakaran hutan, 2. Membuka lahan tanpa membakar hutan, 3. Melakukan patroli hutan secara berkala,4. Menanami hutan dengan tanaman tahan panas, 5. Menanami hutan secara tumpang sari. Langkah-langkah mitigasi kebakaran hutan ditunjukkan nomor? 1,2, dan 3 1,2, dan 4 1,2, dan 5 2,4, dan 5 3,4, dan 5 Jawaban A. 1,2, dan 3 Dilansir dari Encyclopedia Britannica, perhatikan pernyataan-pernyataan melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang kebakaran hutan, 2. membuka lahan tanpa membakar hutan, 3. melakukan patroli hutan secara berkala,4. menanami hutan dengan tanaman tahan panas, 5. menanami hutan secara tumpang sari. langkah-langkah mitigasi kebakaran hutan ditunjukkan nomor 1,2, dan 3. Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu Data hasil pantauan aktivitas gunung api dilaporkan ke? beserta jawaban penjelasan dan pembahasan lengkap.
Latihan Soal Mitigasi Bencana IPA Kelas 10 SMK Tahun Pelajaran 2021/2022 Berikut ini kami bagikan latihan soal mitigasi bencana IPA kelas 10 SMK Tahun Pelajaran 2021/2022. Latihan soal mitigasi gempa IPA SMK ini untuk membantu belajar peserta didik kelas 10 dalam memahami materi IPA tentang Mitigasi Bencana Bentuk latihan soal mitigasi bencana IPA kelas 10 ini adalah Pilihan Ganda dengan lima alternatif jawaban dan sudah tersedia kunci jawabannya yang dapat di unduh dengan mudah. Soal nomor 1 Mitigasi bencana penting dilakukan untuk …. A. menghindari bencana B. menambah bencana C. mengurangi risiko bencana D. mengurangi jumlah bencana E. menambah kesadaran masyarakat Soal nomor 2 Satuan untuk mengukur besar kecilnya gempa disebut skala …. A. nonius B. utama C. seismik D. richter E. magnitudo Soal nomor 3 Salah satu contoh bencana non alam adalah … A. terorisme B. tawuran C. virus Covid19 D. banjir E. tsunami Soal nomor 4 Peningkatan kesiap-siagaan dalam menghadapi gempa dapat dilakukan dengan tindakan …. A. mematikan arus listrik rumah B. membuat bangunan tahan gempa C. melakukan evakuasi penduduk ke daerah yang aman D. melakukan simulasi bencana gempa kepada masyarakat E. mengirim makanan dan obat-obatan ke barak pengungsian Soal nomor 5 Sebaiknya tindakan mitigasi bencana alam dilakukan pada saat …. A. sebelum terjadinya bencana saja B. setelah ada kepastian akan terjadi bencana C. setelah bencana berlalu D. sebelum, saat, dan setelah terjadi bencana E. setelah dilakukan evaluasi penanganan bencana Soal nomor 6 Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut! 1. Membuat bangunan dengan konstruksi anti gempa 2. Mewaspadai tanda-tanda gempa 3. Membuat tanggul di pinggir sungai 4. Memasang detektor gempa 5. Mencari posisi hiposentrum gempa Langkah-langkah mitigasi bencana gempa bumi ditunjukkan oleh nomor …. A. 1,2, dan 3 B. 1,2, dan 4 C. 1,2, dan 5 D. 2,4, dan 5 E. 3,4, dan 5 Soal nomor 7 Suatu fenomena alam tergolong sebagai bencana jika mengakibatkan … A. korban jiwa dan kerusakan lingkungan B. korban jiwa dan kerugian ekonomi C. korban jiwa dan kerugian sosial D. kerugian material dan imaterial E. korban jiwa dan kerugian psikologis Soal nomor 8 Berikut ini merupakan lembaga yang berperan dalam penanggulangan bencana alam, kecuali …. A. BPBD, BMKG, SAR, PMI, dan Basarnas B. BPBM, Basarnas, SAR, dan BMKG C. PMI, Basarnas, BNI, BPBD, dan BPS D. Basarnas, PVMBG, dan PMI Soal nomor 9 Tsunami menyebabkan wilayah terdampak mengalami kerusakan. Meskipun demikian, kapal yang berada di tengah lautan akan tetap aman karena …. A. kecepatan gelombang konstan B. gelombang tsunami sangat tinggi C. gelombang membawa material dari dasar laut D. gelombang makin tinggi dan besar ke arah pantai E. tsunami meningkatkan abrasi di pesisir pantai Soal nomor 10 Suatu bencana alam berupa kelangkaan pasokan air bersih, sehingga masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan air disebut …. A. banjir B. kekeringan C. angin puting beliung D. gempa bumi E. tanah longsor Soal nomor 11 Banyaknya penduduk di kota membutuhkan ketersediaan air dalam skala banyak. Air tanah bersih dan sehat di wilayah perkotaan cenderung sulit di dapat. Di bawah ini faktor fisik yang mempengaruhi sulitnya air di wilayah perkotaan adalah …. A. padatnya transportasi B. banyaknya slum area C. banyaknya sampah D. banyaknya bangunan E. sering banjir Baca Latihan Soal Biotik dan Abiotik IPA Kelas 10 SMK Kurikulum 2013 Latihan Soal Biotik dan Abiotik IPA Kelas 10 SMK Tahun Pelajaran 2021/2022 Soal nomor 12 Informasi yang tidak dibutuhkan saat melakukan tanggap darurat bencana adalah …. A. kondisi geografis wilayah terkena bencana B. angka ketergantungan penduduk C. lokasi penampungan korban bencana dan ketersediaan logistik D. perkiraan jumlah korban meninggal E. kondisi penduduk yang terkena bencana Soal nomor 13 Berikut ini contoh bencana alam yang tidak terjadi di Indonesia adalah …. A. kekeringan B. badai tropis C. wabah penyakit D. angin Tornado E. gempa bumi Soal nomor 14 Jenis bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia adalah …. A. banjir dan badai B. tanah longsor dan gempa bumi C. letusan gunung api dan gempa bumi D. kekeringan dan tanah longsor E. badai dan gempa bumi Soal nomor 15 Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut! 1. Melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang kebakaran hutan 2. Membuka lahan tanpa membakar hutan 3. Melakukan patroli hutan secara berkala 4. Menanami hutan dengan tanaman tahan panas 5. Menanami hutan secara tumpang sari Langkah-langkah mitigasi kebakaran hutan ditunjukkan nomor …. A. 1,2, dan 3 B. 1,2, dan 4 C. 1,2, dan 5 D. 2,4, dan 5 E. 1, 4, dan 5 Soal nomor 16 Hal yang tidak termasuk langkah-langkah mitigasi bencana tanah longsor adalah …. A. menangkap pembalak hutan B. melakukan reboisasi C. melakukan penambangan di perbukitan D. membuat terasering E. tidak menebang pohon sembarangan Soal nomor 17 Salah satu penyebab bencana kekeringan adalah …. A. tanah sulit ditembus air B. musim kemarau berkepanjangan C. kerusakan hutan D. perluasan permukiman E. kebakaran hutan Soal nomor 18 Tindakan mitigasi bencana alam dilakukan …. A. sebelum terjadi bencana B. setelah ada kepastian akan terjadi bencana C. setelah bencana berlalu D. sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana E. saat bencana Soal nomor 19 Urutan siklus manajemen bencana yang benar adalah …. A. mitigasi, respons, kesiapsiagaan, pemulihan B. mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan C. mitigasi, tanggap darurat , kesiapsiagaan, respons, pembangunan D. mitigasi, pengawasan, respons, pemulihan E. pemulihan, respon, mitigasi Soal nomor 20 Material yang sangat halus yang disemburkan ke udara saat terjadi letusan disebut …. A. awan panas B. lahar C. abu vulkanik D. hujan abu E. pasir Kunci Jawaban – Unduh Demikian yang dapat kami bagikan mengenai latihan soal mitigasi bencana IPA kelas 10 SMK. Semoga bermanfaat.
Langkah-langkah mitigasi kebakaran hutan? – langkah-langkah untuk mitigasi kebakaran hutan adalah 3 kegiatan di sini, yaitu. Pada kesempatan ini kami akan bersama-sama menjawab studi pelajaran geografis dengan tema langkah-langkah mitigasi kebakaran hutan. Dalam mitigasi bencana alam ada tiga tahap bagus yang harus dilakukan untuk menghindari bencana dan mengurangi risiko korban bencana yang akan terjadi. Mungkin dulu sedikit penjelasan dari saya tentang mitigasi api hutan dan semoga bermanfaat. Ini perlu dilakukan oleh pembuat kebijakan karena masyarakat sipil adalah mata dan telinga presiden untuk memastikan komitmen pelestarian lingkungan pemerintah ditampung. Jakarta antara – badan penanggulangan bencana nasional bnpb akan melakukan langkah-langkah mitigasi, seperti penilaian wilayah yang telah mengalami kebakaran hutan dan lahan karhutla, untuk mencegah kebakaran seperti 2019, kata direktur kesiapsiagaan bnpb johny sumbung.
Peristiwa Rabu, 7 Juni 2023 - 1606 WIB Pasuruan – Jadi pemimpin Apel Siaga Gabungan Pengadilan Kebakaran Hutan dan Lahan Karhutla di Lapangan Kaliandra, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa klaim angka karhutla semakin menurun setiap tahunnya, Rabu, 7 Juni 2023. "Dalam jangka waktu 4 tahun terakhir kebakaran hutan di Jawa Timur menunjukkan tren penurunan," kata data laporan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, pada tahun 2019 seluas hektare atau 0,55 persen terbakar dari luas kawasan hutan di Jawa Timur. Tahun 2020 menurun menjadi seluas 940,14 hektare atau 0,07 persen. Dan di tahun 2021 kembali turun menjadi seluas 466,95 hektare atau 0,034 persen dan tahun 2022 seluas 390,50 hektare atau 0,028 persen saja. "Kita ingin penurunan ini terus berlanjut. Sehingga butuh komitmen bersama untuk menjaga hutan dan lahan kita. Termasuk di dalamnya bagaimana pengendalian kebakaran hutan dan lahan di area terdekat yang bisa kita lakukan," meski dalam empat tahun terakhir terjadi tren penurunan Karhutla. Khofifah tetap khawatir akan dampak Karhutla yang terjadi bisa berdampak merusak atau memunahkan ekosistem keanekaragaman hayati hutan."Jangan pernah menganggap ringan, misalnya banjir, longsor, kekeringan dan menurunnya kesuburan lahan. Sampai sekarang, tentu tidak bisa dihitung dan tidak bisa disetarakan dengan kerugian ekonominya. Dan pada umumnya bencana Karhutla menimbulkan bencana kabut asap yang berdampak pada pendidikan, sosial, ekonomi bahkan transportasi,” tuturnya. Atas dasar data tersebut, Khofifah menekankan kepada jajarannya, lintas stakeholder dan pemerintah kabupaten atau kota sampai pedesaan, untuk melakukan pengkonsolidasian kekuatan dan berkolaborasi terkait langkah antisipasi dan mitigasi karhutla.
langkah langkah mitigasi kebakaran hutan ditunjukkan nomor