asingdapat diusir dari bumi Nusantara, atau negara Indonesia, setelah ia terbentuk (merdeka), walaupun sektor maritim mulai mendapat perhatian pada masa Pemerintahan Sukarno dengan munculnya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Sayangnya, Sukarno belum sempat mengimplementasikan 1 Lihat, Tim Ahli Seknas Jokowi, loc.cit. Jalan Kemandirian Definisimakar bisa ditemukan dalam Pasal 87 KUHP. Pasal 87 KUHP menyebutkan, “ Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan.” Sedangkan perbuatan atau beberapa jenis tindak pidana makar diatur dalam Buku II KUHP (Kejahatan) pada Bab I tentang Kejahatan Terhadap Keamanan PemerintahPalestina, kata dia, bisa saja memanggil pulang Dubes Zuhair karena insiden ini telah mencoreng kedekatan hubungan antara Indonesia dan Palestina. "Bahkan bukannya tidak mungkin bagi ELSAMdan Komnas HAM (2017), “Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia”.Jakarta: Komnas HAM. Global Compact, “Global Compact 2018 Progress Report: Asia Pacific Analysis”, 2018. Inisiatif Bisnis dan Hak Asasi Manusia (2010), “Bagaimana Menjalankan Bisnis dengan Menghormati Hak Asasi Manusia: Sebuah Alat Panduan bagi Perusahaan,” Den DibentuknyaDeklarasi Balibo bertujuan untuk memperkuat legitimasi pemerintah Indonesia menyerbu Timor Portugis, serta secara de facto menjadi upaya untuk menyatukannya ke dalam Republik Indonesia.. Kala itu, Amerika Serikat baru saja menarik pasukannya dari Vietnam Selatan lantaran haluan negara Vietnam Selatan itu adalah komunis, dan tidak Jakarta Ekonom Senior Center Of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet belum melihat urgensi masuknya tax amnesty (TA) atau pengampunan pajak jilid II ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). "Untuk RUU KUP, pemerintah bisa fokus kepada reformasi perpajakan yang lebih esensial, M3ng. ArticlePDF Available AbstractOn November 18, 2012, ASEAN countries signed ASEAN Human Rights Declaration. Since structured as a draft, this declaration has drawn controversy. The supporters argued that the declaration is a starting point for ASEAN countries to respect human rights. The Opponents considered that the declaration actually provide opportunities for ASEAN countries to commit human rights violations. Although both arguments are right, there is one thing that need to be underlined that the ten ASEAN countries have already signed the ASEAN Human Rights Declaration. This paper will examine the legalization of the ASEAN Human Rights Declaration. By examining its three dimensions -obligation, precision and delegation- ASEAN Human Rights Declaration is categorized as a soft legalization. The obligation of ASEAN Human Rights Declaration is low because it has no binding force. All ASEAN countries do not have obligation to implement the articles of the declaration. The precision of the declaration is also low because the words used in the declaration are ambiguous. It provides opportunities for the members of ASEAN countries to interpret them in different ways. Finally, the delegation of the declaration is also low because there is no third party that has authority to monitor the states’ compliance to the declaration and resolve conflicts that arise in case of human rights violations. Keywords legalization, ASEAN human rights declaration, states compliance, human rights, ASEAN Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. AbstractOn November 18, 2012, ASEAN countries signed ASEAN Human Rights Declaration. Since structured as a draft, this declaration has drawncontroversy. The supporters argued that the declaration is a starting point for ASEAN countries to respect human rights. The Opponentsconsidered that the declaration actually provide opportunities for ASEAN countries to commit human rights violations. Although both argumentsare right, there is one thing that need to be underlined that the ten ASEAN countries have already signed the ASEAN Human Rights paper will examine the legalization of the ASEAN Human Rights Declaration. By examining its three dimensions -obligation, precision anddelegation- ASEAN Human Rights Declaration is categorized as a soft legalization. The obligation of ASEAN Human Rights Declaration is lowbecause it has no binding force. All ASEAN countries do not have obligation to implement the articles of the declaration. The precision of thedeclaration is also low because the words used in the declaration are ambiguous. It provides opportunities for the members of ASEAN countries tointerpret them in different ways. Finally, the delegation of the declaration is also low because there is no third party that has authority to monitorthe states’ compliance to the declaration and resolve conflicts that arise in case of human rights legalization, ASEAN human rights declaration, states compliance, human rights, ASEANAbstrakPada 18 November 2012, Negara-negara ASEAN menandatangani ASEAN Human Rights Declaration. Karena terstruktur sebagai draft, deklarasi inimengundang kontroversi. Para pendukung berpendapat bahwa deklarasi tersebukan merupakan poin awal Negara-negara ASEAN untukmenghargai HAM. Para lawan menganggap bahwa deklarasi ini justru memberikan peluang pada Negara-negara ASEAN untuk melakukanpelanggaran HAM. Meskipun kedua argumen benar adanya, terdapat satu hal yang patut digarisbawahi, yakni bahwa sepuluh Negara anggotaASEAN telah menandatangani ASEAN Human Rights Declaration. Artikel ini akan menguji legalisasi ASEAN Human Rights Declaration. Denganmenguji tiga dimensi, obligasi, presisi, dan delegasi- ASEAN Human Rights Declaration dikategorikan sebagai soft legalization. Kewajiban atas ASEANHuman Rights Declaration dikategorikan lemah karena tidak adanya kekuatan yang mengikat. Seluruh Negara ASEAN tidak memiliki kewajibanuntuk melaksanakan isi dari deklarasi. Presisi dari deklarasi juga lemah karena bahasa yang digunakan dalam deklarasi terkesan ambigu. Hal inimemberikan peluang pada masing-masing anggota ASEAN menerjemahkannya dengan cara yang berbeda. Akhirnya, delegasi dari deklarasi jugalemah karena tidak ada pihak ketiga yang memiliki wewenang untuk mengawasi kepatuhan Negara-negara terhadap deklarasi dan menyelesaikanmasalah yang timbul dalam kasus pelanggaran Kunci legalisasi, ASEAN human rights Tingkat Tinggi ASEAN ke-21 yangberlangsung di Phonm Penh, Kamboja, pada 18 – 20November 2012 telah membuat sebuah capaianpenting dalam konteks hak asasi manusia. PerdanaMenteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak, PresidenFilipina Benigno S. Aquino, Perdana MenteriSingapura Lee Hsien Loong, Perdana Menteri ThailandYingluck Shinawatra, Perdana Menteri VietnamNguyen Tan Dung, Perdana Menteri Kamboja HunSen, Sultan Brunai Darussalam Hassanal Bolkiah,Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono,Perdana Menteri Laos Thongsing Thammavong danPresiden Myanmar U Thein Sein yang merupakankepala negara dari negara-negara ASEAN menandatangiDeklarasi HAM ASEAN ASEAN Human RightsDeclaration. Konferensi tersebut dihadiri pula olehpara pemimpin penting dunia antara lain PresidenAmerika Serikat Barack Obama, Perdana MenteriChina Wen Jiabao, Presiden Korea Selatan Lee Myung-Legalisasi DeklarasiHAM ASEANImelda Masni Juniaty SianiparUniversitas Kristen IndonesiaCawang, Jakarta 13630Email 59bak, Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda, PerdanaMenteri India Manmohan Singh, Perdana MenteriAustralia Julia Gillard, dan Perdana Menteri SelandiaBaru John Key dan Menteri Luar Negeri Rusia anggota ASEAN, yaitu BruneiDarussalam, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar,Laos, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Singapura,memiliki hukum, sistem pemerintahan, dan kondisiHAM yang berbeda-beda. Karenanya, kehadirandeklarasi tersebut diharapkan dapat menyamakanpersepsi dan memperbaiki perlindungan hak asasimanusia di kawasan berpenduduk 600 juta itu juga deklarasi juga diharapkan dapatmenjadi standard HAM di negara-negara HAM ASEAN merupakan salah satumandat dari ASEAN Intergovernmental Commission onHuman Rights AICHR atau Komisi Antar-PemerintahASEAN untuk Hak Asasi Manusia. AICHR berdiripada 23 Oktober 2009 berdasarkan Piagam ASEANpasal 14, yang memandatkan pembentukan komisiHAM di ASEAN. Komisi ini selanjutnya memilikitugas penting yaitu menyusun draf tentang deklarasiHAM Asia Pasifik termasuk Asia Tenggaramerupakan satu-satunya kawasan di dunia yang belummemiliki instrumen hak asasi manusia Eropa memiliki Konvensi Eropa tentangPerlindungan HAM dan Kebebasan Dasar/Conventionfor the Protection of Human Rights and FundamentalFreedoms sejak 1950. Kawasan Amerika memilikiKonvensi Amerika tentang HAM/American Conventionon Human Rights sejak 1969. Kawasan Afrika memilikiPiagam Afrika mengenai HAM dan Hak-hak Rakyat/African Charter on Human and Peoples’ Rights Karenanya, deklarasi HAM ASEAN inimerupakan sebuah capaian yang penting bagi kawasanAsia khususnya Asia Tenggara. Deklarasi HAM ASEANmemuat bagaimana seharusnya penegakan HAMditerapkan sekaligus dipromosikan di kawasanASEAN. Deklarasi ini juga memuat pandangan dansikap negara-negara ASEAN tentang deklarasi HAM ASEAN merupakansebuah capaian penting namun deklarasi tersebuttidak luput dari kritik. Beberapa kelompokmenganggap deklarasi HAM sebagai kemunduranpenegakan HAM di ASEAN. Badan PBB danmasyarakat sipil menilai deklarasi HAM ASEAN telahmerendahkan martabat manusia dan membatasi upayaperlindungan hak asasi manusia berdasarkan Pelaksanaan HAM ASEAN yang harusmempertimbangkan konteks nasional dan regionaldapat memberikan peluang bagi rezim pemerintahotoriter ASEAN untuk menjustifikasi tindakan-tindakan mereka yang tidak sesuai dengan standarHAM. Selain itu, proses perancangan draft deklarasiHAM ASEAN yang kurang transparan telah memicuprotes dari masyarakat ini akan menyoroti Deklarasi HAM ASEANyang telah menuai kontroversi tersebut. Penulis akanmeneliti legalisasi deklarasi HAM ASEAN tersebutberdasarkan dimensi obligasi, presisi dan demikian akan didapati suatu pemahamantentang karakter yang dimiliki oleh deklarasi tersebutdan bagaimana implikasinya terhadap kepatuhannegara-negara ASEAN pada deklarasi LEGALISASIKenneth W. Abbott, dkk mendefinisikan legalisasisebagai a particular set of characteristics that institutionsmay or may not Karakteristik tersebut meliputitiga dimensi yaitu obligasi, presisi dan berarti negara atau pihak yang berjanji diikatoleh aturan atau komitmen. Dengan demikian, negaraatau pihak yang berjanji memiliki kewajiban untuktunduk pada aturan atau komitmen yang telahdisepakati. Presisi berarti bahwa aturan-aturan tersebutjelas, menegaskan perilaku yang diwajibkan,diwewenangkan dan di larang oleh aturan-aturantersebut. Sedangkan delegasi berarti adanya pihakketiga yang diberikan wewenang untukmengimplementasikan, menginterpretasikan danmenerapkan aturan; menyelesaikan konflik atauperselisihan dan membuat aturan-aturan Masni Juniaty SianiparLegalisasi Deklarasi HAM ASEAN JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 3 NO. 1 / APRIL 201460Dimensi obligasi, presisi dan delegasi dari suatuaturan memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Jikadimensi obligasi, presisi dan delegasinya tinggi makalegalisasi aturan tersebut tinggi hard legalization. Jikadimensi obligasi, presisi dan delegasinya rendah makalegalisasi aturan tersebut rendah soft legalization. Jikasalah satu dari dimensi obligasi, presisi dan delegasinyatinggi atau rendah maka legalisasi dari aturan tersebutsedang medium legalization.8 Gambar 1 dibawah inimemperlihatkan masing-masing elemen dari elemen ditampilkan dari bentuk yangpaling lemah yang terletak di sebelah kiri hingga kebentuk yang paling kuat yang terletak di sebelah 1. Dimensi Legalisasi9Menurut Abbot dan Snidal, para pihak termasuknegara memiliki berbagai pertimbangan yangmengarahkan mereka untuk menyepakati aturan yangbersifat hard law dan soft law. Istilah hard law digunakanuntuk menyebut aturan yang memiliki kekuatanmengikat yang jelas dan memberikan wewenang kepadapihak ketiga untuk menginterpretasikan danmengimplementasikan aturan Abbot danSnidal mengamati bahwa baik hard law dan soft law,keduanya memiliki keuntungan dan keuntungan yang dapat diperoleh denganmenyepakati aturan yang bersifat hard law adalahmengurangi biaya transaksi, memperkuat kredibilitaskomitmen, memperluas strategi politik danmemecahkan masalah yang tidak dapat diselesaikandalam perjanjian yang tidak lengkap. Sedangkankerugian dari hard law yaitu terbatasnya keleluasaanaktor untuk bertindak dan bahkan membatasikedaulatan. Akibat dari terlalu ketat dan kakunyaaturan yang bersifat hard law maka para pihak / negaralebih menyukai perjanjian yang bersifat soft keuntungan dari soft law adalah mengurangibiaya transaksi seperti biaya negosiasi-pertemuan,mempelajari isu-tawar menawar-dan lain-lain, tidakmempengaruhi kedaulatan, memberikan sejumlahalternatif menarik untuk mengantisipasiketidakpastian. Sementara itu kelemahan dari softlawadalah sulitnya memegang komitmen negara/paraaktor untuk taat pada umumnya para pihak/negara lebih sukamengikatkan diri pada perjanjian yang bersifat soft lawdibandingkan hard law. Hal ini dikarenakan soft lawdianggap lebih banyak memberi ruang gerak baginegara dibandingkan hard law. Terlebih bilamenyangkut dengan kedaulatan DEKLARASI ?Deklarasi merupakan sebuah dokumen yangmenyatakan persetujuan resmi tentang standar-standartertentu namun tidak memiliki HAM ASEAN merupakan sebuahdokumen yang menyatakan persetujuan resmi dari 10negara anggota ASEAN tentang standar hak asasimanusia yang berlaku di lingkungan ASEAN. DeklarasiHAM ASEAN memuat prinsip-prinsip umum yangterdiri dari 9 pasal; hak-hak sipil dan politik yangterdiri dari 16 pasal; hak-hak ekonomi, sosial danbudaya yang terdiri dari 9 pasal; hak pembangunanyang terdiri dari 3 pasal, hak untuk hidup damai yangterdiri dari 1 pasal; dan kerjasama dalam memajukandan melindungi hak asasi manusia yang terdiri dari isi pasal yang tercantum dalam deklarasiHAM ASEAN tersebut baru mengikat secara moral,belum secara yuridis. Karenanya ada kemungkinannegara-negara ASEAN tidak mematuhi pasal-pasal yangtercantum dalam deklarasi tersebut. Sebuahpertanyaan penting pun muncul. Apa yang memotivasinegara-negara ASEAN memilih deklarasi sebagaisebuah aturan dasar dalam rangka memajukan danmelindungi hak asasi Miles Kahler, sudah menjadi ciri khas bagi 61negara-negara di kawasan Asia baik Asia Tenggara, AsiaTimur, Asia Selatan bahkan Asia Pasifik bahwa merekalebih menyukai aturan- aturan yang bersifat pengamatan Kahler terhadap tiga institusi yangada di kawasan Asia yaitu ASEAN, ARF dan APECmembuktikan hal tersebut. Paling tidak ada tiga alasanyang menyebabkan negara-negara di kawasan Asia lebihmenyukai aturan-aturan yang longgar. Pertama, telahtersedianya aturan alternatif di luar deklarasi ASEANsehingga tuntutan untuk memiliki aturan yang lebihmengikat jadi rendah. Misalnya Malaysia, Indonesia,Singapura sudah meratifikasi konvensi Hak AsasiManusia Internasional 1966 karenanya mereka tidakterlalu membutuhkan aturan yang lebih mengikatberkaitan dengan pelaksanaan hak asasi negara-negara ASEAN yakin bahwa merekamampu menyelesaikan masalah mereka dengan cara-cara ASEAN. Prinsip ini dikenal dengan ASEAN Wayyang mengedepankan keharmonisan, konsensus danpertemuan-pertemuan informal dalam menyelesaikanpersoalan yang muncul. Bagi negara-negara ASEAN,prinsip penyelesaian masalah dengan gaya ASEANharus tetap dipertahankan. Hal tersebutlah yangmembedakan ASEAN dengan institusi lain yangmerupakan ciptaan barat. ASEAN sendiri sudahmerupakan implementasi dari pemikiran baratkarenanya perlu menambahkan sesuatu yangmerupakan ciri khas pemikiran timur yang dikenaldengan ASEAN politik domestik negara-negara ASEAN yangmenyebabkan sulitnya membuat aturan yang lebihmengikat di kawasan. Kecuali Thailand, negara-negaraASEAN memiliki pengalaman historis yang sama yaitupernah mengalami masa penjajahan. Trauma akanpenjajahan ini membuat para pemimpin ASEAN tidakmenginginkan adanya aturan yang terlalu membatasiperilaku negara. Kedaulatan adalah di atas segala-galanya. Selain memiliki pengalaman historis yangsama, keanekaragaman sistem politik di ASEANmempersulit negara-negara di ASEAN untuk beradadalam satu aturan yang mengikat terlalu merupakan negara yang menerapkan sistempolitik yang dan Singapuramemiliki sistem politik yang demokratis namun padaprakteknya didominasi oleh satu partai Nasional telah mendominasi Malaysia danPartai Aksi Rakyattelah menjadikan Singapura sepertinegara dengan sistem satu partai. Sistem politikIndonesia telah mengalami beberapa fase. Setelahmengalami demokrasi parlementer pada awal 1950,sistem politik Indonesia berubah menjadi otoriterdibawah demokrasi terpimpin pada masakepemimpinan Soekarno. Selanjutnya pada 1965-1998, Indonesia dikuasai oleh rezim Soeharto yangmemiliki gaya kepemimpinan otoritarianisme yang antikomunis dan pro-militer. Setelah jatuhnya Soehartopada tahun 1998, Indonesia mulai mengarah padademokrasi. Thailand didominasi oleh rezim militerdan mulai mengarah pada demokrasi sejak awal dibawah kepemimpinan Hun Senmengadopsi sistem demokrasi namun pada prakteknyabersikap otoriter. Vietnam dan Laos menerapkansistem komunis yang otoriter. Myanmar merupakannegara yang didominasi oleh rezim militer dan BrunaiDarussalam merupakan negara yang menerapkan OBLIGASI, PRESISI DAN DELEGASI DEKLARASIHAM ASEANSeperti yang telah disebutkan di atas, dimensiobligasi berarti negara atau pihak yang berjanji diikatoleh aturan atau komitmen yang telah demikian, negara memiliki kewajiban untuktunduk pada aturan atau komitmen tersebut. Dalamkaitannya dengan deklarasi HAM ASEAN, seluruhnegara-negara anggota ASEAN tidak memilikikewajiban untuk menaati pasal-pasal yang tercantumdalam deklarasi tersebut. Hal ini dikarenakan deklarasitidak memiliki kekuatan mengikat. Deklarasi hanyamenuntut moral negara-negara ASEAN untukmenghormati dan melindungi hak asasi setiap individuyang ada di negara-negara ASEAN sesuai dengan pasal-pasal dalam deklarasi HAM ASEAN. Jika negara-negaraASEAN melanggar atau bersikap tidak patuh pada isidalam deklarasi tersebut, mereka tidak akan dikenakansanksi. Sanksi yang diberikan hanya bersifat sanksiImelda Masni Juniaty SianiparLegalisasi Deklarasi HAM ASEAN JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 3 NO. 1 / APRIL 201462moral/normatif. Dengan demikian maka dapatdikatakan bahwa tingkat obligasi deklarasi HAMASEAN adalah dari tingkat presisinya, deklarasi HAMASEAN juga rendah. Pernyataan atau kata-kata yangdigunakan pada pasal-pasal dalam deklarasi tersebutbersifat ambigu. Karenanya masing-masing negaraASEAN dapat memberikan interpretasi yang berbeda-beda mengenai isi pasal tersebut. Beberapa pasal yangdapat menimbulkan penafsiran berbeda-beda antaralain ditemukan pada pasal 7 dan 8 dari deklarasi 7 menyatakan bahwa;“All human rights are universal, indivisible, interdepen-dent and interrelated. All human rights and fundamentalfreedoms in this Declaration must be treated in a fair andequal manner, on the same footing and with the sameemphasis. At the same time, the realisation of humanrights must be considered in the regional and nationalcontext bearing in mind different political, economic, legal,social, cultural, historical and religious backgrounds.”15Pasal ini menyatakan bahwa realisasi hak asasimanusia di ASEAN harus mempertimbangkan konteksregional dan nasional. Akan tetapi konteks regionaldan nasional yang dimaksud tidak diuraikan secarajelas sehingga masing-masing negara akan memilikiinterpretasi yang berbeda-beda mengenai konteksregional dan nasional 8 menyatakan bahwa“The human rights and fundamental freedoms of everyperson shall be exercised with due regard to the humanrights and fundamental freedoms of others. The exercise ofhuman rights and fundamental freedoms shall be subjectonly to such limitations as are determined by law solely forthe purpose of securing due recognition for the humanrights and fundamental freedoms of others, and to meet thejust requirements of national security, public order, publichealth, public safety, public morality, as well as the generalwelfare of the peoples in a democratic society.”16Pasal ini menekankan bahwa semua hak yangdisediakan dalam Deklarasi harus mempertimbangkanketahanan nasional, aturan publik, kesehatan publik,keamanan publik dan moral publik. Akan tetapi pasaltersebut tidak memberi rincian yang jelas mengenaikonsep–konsep yang dimaksud. Hal ini dapatmemberikan penafsiran yang berbeda-beda padamasing-masing negara ASEAN. Konsep kesehatanpublik dalam standard Singapura tentu berbedadengan Indonesia. Demikian pula halnya denganmoral publik Singapura yang juga berbeda standardmoral publiknya mengacu pada tiga pasal tersebut makadapat dikatakan bahwa deklarasi HAM ASEANmemiliki dimensi presisi yang rendah. Deklarasi HAMASEAN memiliki celah dan peluang bagi masing-masing negara menerjemahkan isi pasal tersebutdengan cara yang berbeda-beda. Hal ini berbahayakarena negara-negara ASEAN dapat sajamenerjemahkan isi pasal tersebut sesuai dengankepentingannya deklarasi ASEAN juga rendah karena tidakada pihak ketiga yang memiliki wewenang untukmemonitor kepatuhan negara-negara ASEAN terhadapdeklarasi dan menyelesaikan masalah jika terjadipelanggaran HAM di salah satu negara HAM yang dilakukan oleh Myanmar yangbersikap diskriminatif terhadap kelompok muslimRohingya tidak dapat diselesaikan oleh ASEAN karenatidak ada badan yang memiliki wewenang untukmemberikan sanksi terhadap Myanmar akibatpelanggaran HAM yang telah dilakukannya. AICHRyang diharapkan menjadi pihak yang berwenang dalampenegakan HAM ASEAN tidak bisa berbuat banyakkarena dalam perkembangannya badan ini hanyamenjadi wadah persaudaraan dan tempat berdiskusitentang kondisi HAM di masing-masing penjelasan di atas mengenai dimensiobligasi, presisi dan delegasi dari deklarasi HAMASEAN maka nampak bahwa ketiga dimensi tersebutrendah. Karenanya deklarasi HAM ASEAN merupakanaturan yang memiliki legalisasi rendah soft law.KRITIK TERHADAP DEKLARASI HAM ASEAN 63Deklarasi HAM ASEAN telah menuai kritik tajamdari masyarakat baik di tingkat nasional, regional, daninternasional. Paling tidak, ada enamhal yang menjadikritik dari masyarakat. Pertama, pertimbangan konteksnasional dan regional dalam pemberlakuan HAM ASEAN mengakui hak asasi manusiabersifat universal dan fundamental, namun dalamrealisasinya, negara-negara anggota ASEAN harusmempertimbangkan konteks regional dan nasional,termasuk perbedaan politik, ekonomi, hukum, sosial,budaya, sejarah, dan latar belakang agama. Hal iniberarti negara-negara ASEAN telah mengakui HAMseperti standar internasional, tetapi pelaksanaannyaharus sesuai dengan konteks regional dan salah satu aktivis HAM Indonesia, UsmanHamid, pengakuan HAM berdasarkan pertimbangankonteks nasional dan regional dapat menimbulkanmasalah. Misalnya saja pada persoalan perlindunganminoritas agama. Pemerintah Indonesia dapatmenganggap pemeluk Islam yang berkeyakinan Syiahtidak sesuai dengan agama yang diakui atau latarbelakang budaya yang diakui secara nasional. Padahalsebenarnya hak-hak yang melekat pada pemeluk Islamyang berkeyakinan Syiah diakui dan dijamin olehDeklarasi HAM Universal. Pertimbangan konteksnasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesiadapat mengancam kebebasan beragama pemeluk agamaIslam yang berkeyakinan Syiah penyeimbangan hak dan kewajiban indi-vidual, komunitas dan masyarakat lainnya. MenurutYuyun Wahyuningrum, Senior Advisor ASEAN andHuman Rights di Human Rights Working GroupHRWG, Deklarasi HAM ASEAN tidak seharusnyamendefinisikan hubungan timbal balik antara hak dankewajiban individu, kelompok dan masyarakat dalamkerangka HAM karena kerangka HAM tidak mengenalkonsep penyeimbangan antara hak dan bersifat melekat, tidak dapat dibagi, salingbergantung, dan berhubungan antara satu pertimbangan ketahanan nasional, aturanpublik public order, kesehatan publik public health,keamanan publik public safety, dan moral publikpublic morality. Deklarasi HAM ASEAN tidakseharusnya mempertimbangkan ketahanan nasional,aturan publik, kesehatan publik, keamanan publik danmoral publik dalam pelaksanaan HAM karena hal inisecara tidak langsung justru membatasi setiap individuuntuk menerima hak-nya secara utuh. Pemerintahdapat membatasi hak warganegaranya denganpertimbangan-pertimbangan tersebut. Misalnyatentang public morality. Isu ini merupakan isu yangdikritisi gerakan perempuan di ASEAN. Pemerintahseringkali bertindak diskriminasi terhadap kaumperempuan dengan mengatasnamakan agama danmoralitas. Sementara ukuran moralitas bisadidefinisikan dan ditentukan secara berbeda-beda olehsetiap individu atau segolongan orang yangmendominasi, seperti kelompok-kelompok fundamen-tal. Sering kali pemenuhan hak perempuan di Indone-sia terhambat public morality yang memang masihsubjektif dan tidak jelas deklarasi HAM ASEAN juga dikritisikarena tidak menyebutkan secara tegas mengenai hak-hak kelompok minoritas yang lain seperti masyarakatadat dan kelompok lesbi, gay, biseksual dan transgenderLGBT. Hal ini memperlihatkan bahwa negara-negaraASEAN cenderung mengabaikan hak asasi kelompokminoritas tersebut. Hal ini dikarenakan kelompok-kelompok minoritas seperti masyarakat adat danLGBT termasuk dalam kelompok rentan dan deklarasi HAM tidak memenuhi standarhak asasi manusia internasional. Hal ini dinyatakanoleh Komisaris Perserikatan Bangsa Bangsa untuk HakAsasi Manusia, Navy Pillay dan Phil Robertson, wakildirektur Human Rights Watch. Deklarasi HAM ASEANyang tidak memenuhi standar hak asasi manusiainternasional dapat membuka banyak celah danpembenaran bagi pemerintah negara ASEAN untukmengabaikan hak aktivis HAM juga mengkritik prosesperancangan draf. Menurut para aktivis HAM, prosesperancangan draf dilakukan secara tertutup atau tidaktransparan dan meniadakan konsultasi denganmasyarakat sipil. Draf Deklarasi tidak pernah dibagiImelda Masni Juniaty SianiparLegalisasi Deklarasi HAM ASEAN JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 3 NO. 1 / APRIL 201464dan dipublikasikan untuk mendapatkan masukankonstruktif. Di beberapa negara bahkan tidak digelarproses konsultasi sama sekali. Proses konsultasi barudilakukan menjelang proses akhir pengesahanDeklarasi. Karenanya, para aktivis HAM menganggapdeklarasi HAM ASEAN tersebut sebagaipengkhianatan terhadap hak asasi POSITIF DARI DEKLARASI HAM ASEANBerdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwadeklarasi HAM ASEAN masih memiliki kelemahan-kelemahan. Mengenai hal tersebut Sekretaris JenderalASEAN, Surin Pitsuwan berjanji akan melakukanevaluasi terhadap deklarasi Menteri LuarNegeri Kamboja Hor Namhong mengatakan bahwakehadiran deklarasi HAM ASEAN merupakan sebuahlangkah yang baik dan tidak perlu dipersoalkan terlalujauh. Deklarasi HAM ASEAN yang telahditandatangani saat ini masih bisa diperbaiki danditingkatkan di masa deklarasi HAM ASEAN diakui memilikibeberapa kelemahan, dalam beberapa hal, deklarasi inimemperlihatkan kemajuan-kemajuan terutama terkaithak perempuan dan anak. Pada pembukaan deklarasiterdapat pernyataan yang menegaskan kembaliDeklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuandi ASEAN. Deklarasi ini sudah ada sejak tahun penegasan kembali tersebut membuktikankeseriusan negara-negara ASEAN untuk melindungihak perempuan dan menghapus kekerasan dalam pembukaan, pembahasan tentang hakperempuan dan anak dapat ditemukan juga padaPrinsip Umum pasal 4, di mana di dalamnyadisebutkan bahwa hak perempuan, anak, lanjut usia,penyandang disabilitas, serta kelompok rentan danmarginal merupakan satu bagian yang tidakterpisahkan dan integral dari HAM dan kebebasanfundamental. Pasal ini secara ekplisit menyebutkantentang hak perempuan sebagai hak asasi HAM itu juga menyebutkan bahwa negara-negara ASEAN memberikan perlindungan khususkepada ibu dalam masa sebelum dan setelahmelahirkan. Pernyataan tersebut tercantum pada pasal30 ayat 2 dan itu, deklarasi juga mewajibkan negara-negaraASEAN untuk melaksanakan pembangunan yangberorientasi pada rakyat dan gender responsive. Negara-negara ASEAN dalam setiap pembangunannya haruspeka terhadap persoalan-persoalan perempuan terkaitdengan penghapusan Hal tersebutdinyatakan pada pasal 36 deklarasi HAM HAM ASEAN PASCA DEKLARASIMeskipun negara-negara ASEAN telah membuatkesepakatan untuk menghormati dan melindungi hakasasi setiap individu di ASEAN, pada prakteknyanegara-negara ASEAN masih melakukan berbagaipelanggaran terhadap hak asasi Myanmar, pemerintah membuat panduan yangketat bagi para jurnalis. Mereka tidak bolehmenyebarkan berita yang berkaitan dengan korupsi,obat-obatan terlarang dan buruh Di Malaysia,pemerintah mengamandemen Evidence Act yangmembatasi kebebasan berekspresi surat kabar, stasiunradio dan stasiun televisi. Aturan tersebut menyatakanbahwa pemilik surat kabar, pemilik stasiun radio,pemilik stasiun televisi, pengurus administrasi, penyiar,editor, penjual dan pelayan jaringan bertanggung jawabterhadap isi berita yang mereka Di Thai-land, pemerintah melarang masyarakatnya mengkritikkeluarga kerajaan dengan menggunakan undang-undanglese majeste dan Computer Crimes Pada September2011, pemerintah Yingluck menangkap SurapakPhuchaisaeng pendukung Kaos Merah karena didugamenyebarkan berita yang menghina keluarga kerajaanmelalui facebook. Surapak Phuchaisaeng kemudiandibebaskan pada 31 Oktober 2013 oleh PengadilanKriminal Bangkok karena terbukti tidak kasus penghinaan terhadap keluarga kerajaantersebut tidak terbukti, hingga saat ini, pemerintahThailand tetap menggunakan undang-undang lesemajeste yang terdapat dalam Kitab Undang-undangHukum Pidana pasal 112 dan Computer Crimes Actuntuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakatThailand. 65Di Vietnam, pemerintah mengawasi dengan ketatstasiun radio, stasiun televisi dan perusahaan memberikan hukuman yang tegas bagi parapemilik stasiun radio, stasiun televisi dan perusahaanpenerbitan yang menyebarkan informasi tentangpenentangan terhadap pemerintah, mengancamkeamanan nasional, membocorkan isu-isu rahasianegara atau ide-ide yang radikal. Pemerintah jugamemblokir akses terhadap website-website penting danmeminta pemilik cafe atau restaurant untuk memonitordan menyimpan informasi yang diunduh oleh parapengunjung cafe atau restaurant selama mereka online diinternet. Pemerintah juga memerintahkan MenteriKeamanan Publik untuk menutup blog-blog dan website-website yang tidak mendapat persetujuan daripemerintah dan memberikan hukuman kepada parapembuat blog dan website yang dilakukan oleh Myanmar, Malaysia,Thailand dan Vietnam di atas jelas bertentangandengan isi dari deklarasi HAM ASEAN mengenaikebebasan berekspresi. Pasal 23 deklarasi ASEANmenyatakan bahwa setiap individu memiliki hakberpendapat dan berekspresi termasuk kebebasanmengeluarkan pendapat tanpa campur tangan pihaklain dan mencari dan menerima informasi baik secaralisan maupun tulisan melalui media yang disukai olehindividu tersebut. Berdasarkan fakta di atas terlihatjelas bahwa pemerintah Myanmar, Thailand danVietnam masih membatasi kebebasan berekspresimasyarakatnya dan hal ini bertentangan dengan pasal23 deklarasi HAM membatasi kebebasan berekspresi, negara-negara ASEAN juga membatasi kekebasan beragamamasyarakatnya. Hal ini bertentangan dengan pasal 22deklarasi HAM ASEAN. Di Myanmar, pemerintahmasih melakukan tindakan diskriminatif terhadapsekitar satu juta penduduk rohingya denganmenggunakan Discriminatory Citizenship Law saat ini, pemerintah masih menggunakanhukum tersebut untuk membatasi hak masyarakatrohingya mendapatkan pendidikan, pekerjaan dankebebasan untuk berpindah ke wilayah lain. 29 DiVietnam, pemerintah mewajibkan setiap kelompokkeagamaan mendaftarkan organisasi atau institusinyakepada pemerintah. Berbagai kelompok keagamaantersebut harus menjalankan ritual keagamaannya sesuaipetunjuk pemerintah. Jika mereka melakukan kegiatanyang bertentangan dengan petunjuk pemerintah,mereka akan ditangkap dan dipenjarakan olehpemerintah. Sejauh ini, pemerintah Vietnam telahmenangkap 18 anggota dari kelompok keagaamaanBudha di provinsi Phu Yen karena aktivitas merekadianggap ingin menjatuhkan pemerintah. Pemerintahjuga menangkap dan memenjarakan Pastor NguyenCong dari Provinsi Gia Lai selama 11 tahun karenapemerintah menduga aktivitasnya dapat merusakpersatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya,pemerintah juga menangkap para aktivis Protestanetnik Hmong dari distrik Muong Nhe danmemenjarakan mereka selama dua setengah tahunkarena pemerintah menganggap aktivitas merekamengganggu keamanan nasional. Untuk membenarkanaksinya tersebut, Pemerintah Vietnam menggunakanKitab Undang-undang Hukum Pidana pasal negara ASEAN juga masih melakukantindakan diskriminatif terhadap kelompok marginaltertentu. Pemerintah Malaysia menentang kehadirankelompok lesbi, gay, biseksual dan transgender LGBT dinegara tersebut. Perdana Menteri Malaysia, Datuk SeriNajib Razak menyatakan bahwa aktivitas LGBT tidakdiijinkan di Malaysia. Najib mewajibkan masyarakatMalaysia untuk menentang dan melawan perilakuLGBT. Najib menyampaikan pernyataannya ini dihadapan Imam dan anggota majelis masjid. 30Hal yang sama juga terjadi di Singapura. KelompokLGBT Singapura melaporkan kepada Human RightsWatch bahwa mereka sering mendapat perlakuan yangtidak wajar. Pemerintah Singapura seringkali menyiksadan menganiaya Tindakan Malaysia danSingapura ini tentu saja bertentangan dengan deklarasiHAM ASEAN yang menganggap bahwa setiap individumemiliki hak dan derajat yang sama. Pernyataan initerdapat pada prinsip umum deklarasi HAM ASEANpasal Masni Juniaty SianiparLegalisasi Deklarasi HAM ASEAN JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 3 NO. 1 / APRIL 201466KESIMPULAN DAN SARANDeklarasi HAM ASEAN disepakati sebagai bentukpenghormatan negara-negara ASEAN terhadap hakasasi manusia. Dilihat dari ketiga dimensinya, deklarasitersebut memiliki tingkat obligasi rendah, presisirendah dan delegasi rendah. Obligasi rendah karenapara pihak tidak memiliki kewajiban untukmenjalankan isi deklarasi HAM. Presisi rendah karenapernyataan-pernyataan dalam deklarasi bersifat negara dapat memiliki interpretasiberbeda-beda tentang pernyataan-pernyataan dalamdeklarasi. Pernyataan yang bersifat ambigu terutamadapat ditemukan pada pasal 6, 7 dan 8. Delegasirendah karena tidak ada pihak ketiga yang memilikiwewenang untuk memonitor kepatuhan negara padadeklarasi dan memberikan sanksi kepada negara-negaraASEAN yang melakukan pelanggaran HAM. Karenaketiga dimensi menunjukkan derajat yang rendah makadeklarasi HAM ASEAN memiliki legalisasi rendahatau dikategorikan sebagai soft penandatanganan deklarasi, negara-negaraASEAN masih melakukan tindakan yang melanggarhak asasi manusia. Myanmar, Malaysia, Thailand danVietnam masih membatasi kebebasan berekspresimasyarakatnya. Hal ini bertentangan dengan pasal 22deklarasi HAM ASEAN. Pembatasan terhadapkebebasan beragama juga masih ditemukan diMyanmar dan Vietnam. Hal ini bertentangan denganpasal 23 deklarasi HAM ASEAN. Sementara itu,Malaysia dan Singapura juga melakukan tindakandiskriminatif terhadap kelompok minoritas tertentuseperti kelompok LGBT. Hal ini sangat tidak sesuaidengan prinsip umum deklarasi HAM ASEAN pasal fakta-fakta tersebut maka perlu sekali untukmelakukan evaluasi terhadap deklarasi HAM legalisasi aturan HAM ASEAN perluditingkatkan. Terutama setelah ditemukannya berbagaikelemahan dalam deklarasi HAM ASEAN. AturanHAM ASEAN perlu ditingkatkan menjadi aturan yanglebih mengikat seperti protokol atau konvensi. Hal inibisa dilakukan dengan bantuan dari para pakar HAMseperti Komisaris Perserikatan Bangsa Bangsa untukHak Asasi Manusia, Navy Pillay dan Phil Robertson,wakil direktur Human Rights Watch. Mereka dapatmemberi masukan yang konstruktif kepada negara-negara ASEAN untuk lebih serius menghormati hakasasi manusia. Selain itu, perlu juga rekontruksi idedalam pemikiran para pemimpin ASEAN. Perspektifpara pemimpin ASEAN terhadap negara-negaratetangga harus berubah. Perasaan curiga terhadapnegara tetangga harus segera diubah denganmenganggap mereka sebagai teman dan sahabat. Halini penting untuk menumbuhkan rasa saling percayaantar sesama anggota ASEAN sehingga mereka bersediadikontrol oleh institusi lain. Apabila kedua haltersebut bisa diterapkan maka ada kemungkinanaturan HAM ASEAN dapat ditingkatkan menjadisebuah aturan yang lebih AKHIR1 Mandat ini tercantum pada term of reference of ASEANIntrergovernmental Commission on Human Rights pasal 4 ayat diakses pada 23 Oktober 2013 pukul diakses pada 23 Oktober 2013pukul diakses18 Oktober 2013 pukul Kenneth W. Abbott, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal, The Concept of LegalizationdalamJudith Goldstein, Miles Kahler, Robert O. Keohane, Anne-MarieSlaughter, International Organization, Volume 54, Number 3,Summer 2000, Ibid., Ibid.,40410 Kenneth W. Abbott dan Duncan Snidal, Hard and Soft Law inInternational Governance, dalam Judith Goldstein et al., diakses pada 20 Oktober 2013 pukul Miles Kahler, Legalization as Strategy The Asia-Pacific Case dalamJudith Goldstein et al., Ibid, 559-56114 Derek McDougal, Asia Pacific in World Politics Boulder LynneRienner Publishers,2007 1915 Ibid17 67asean-sebagai-kemunduran-penegakan-ham-di-indonesia/18 diakses pada 15 Oktober 2013pukul diakses pada 20Oktober 2013 pukul diakses pada 19Oktober 2013 pukul Human Rights Watch, World Report 2013 Events 2012 UnitedStates of America 200528626 Ibid.,33227 Ibid., 37528 Ibid., 38329 Ibid., 28930 Ibid., 33531 Ibid., 365BIBLIOGRAFIAbbot, Kenneth W. and Duncan Snidal, Hard and Soft Law in Interna-tional Organization. Volume 54,Number 3, Summer Kenneth W, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter and Duncan Snidal. The Concept Organization, Volume 54, Number 3,Summer Human Rights DeclarationGoldstein, Judith., Miles Kahler, Robert O. Keohane and Anne-MarieSlaughter. International Organization. Volume 54, Number 3,Summer Rights Watch. World Report 2013 Events 2012. United Statesof America Miles. Legalization as Strategy The Organization, Volume 54, Number 3, Derek. Asia Pacific in World Politics. Boulder Lynne RiennerPublishers, of Reference of ASEAN Intrergovernmental Commission onHuman Rights Masni Juniaty SianiparLegalisasi Deklarasi HAM ASEAN ... Precision, namely the provisions that have explicitly regulated the behavior that is required, authorized, and prohibited by these provisions. Meanwhile, delegation is the authority given to third parties to enforce, interpret, and resolve disputes and then make new provisions Sianipar, 2014. ...Maretha CrisindianaNanik TrihastutiThis research was based on the national efforts to simplify the procedure for the legalization of foreign public documents to improve the investment climate. This research focuses on the implementation of the legalization of foreign public documents after the accession of the Apostille Convention in Indonesia. The main basis for examination was Presidential Regulation No. 2 of 2021 on the Accession of the Convention of Abolishing the Requirement of Legalization for Foreign Public Documents, also known as the Apostille Convention. The method used is a normative juridical research method. This research emphasizes library research by using secondary data sources such as statutory provisions, legal theory, and scientific works Suteki & Taufani, 2020. The statutory approach is carried out by analyzing the statutory provisions related to the legal issues being studied Marzuki, 2016. Furthermore, an analysis of legal materials is carried out using qualitative analysis described in sentences without mathematical calculations or statistics as an analytical tool. The results showed that the implementation of the Apostille Convention does not necessarily render the current legalization of public documents invalid, but rather replaces it with a simpler procedure, namely the issuance of an apostille certificate, which functions as a statement of the validity of the document. The conclusion highlighted the need for ratifying the Apostille Convention comes into force, especially in ASEAN member countries to enhance the foreign direct investment in this at The subject of this volume is legalization and world politics. World politics in this formulation needs no clarification, but legalization, the real focus of the volume, must be more clearly defined, if only because of its relative unfamiliarity to students of international relations. In the introduction the editors have briefly previewed the concept of legalization used throughout the volume, a concept developed collaboratively by the authors of this article. We understand legalization as a particular form of institutionalization characterized by three components obligation, precision, and delegation. In this article, we introduce these three characteristics,explore their variability and the range of institutional forms produced by combining them, and explicate the elements of legalization in greater detail. Kenneth W AbbottDuncan SnidalWe examine why international actors—including states, firms, and activists—seek different types of legalized arrangements to solve political and substantive problems. We show how particular forms of legalization provide superior institutional solutions in different circumstances. We begin by examining the baseline advantages of “hard” legalization that is, precise, legally binding obligations with appropriate third-party delegation. We emphasize, however, that actors often prefer softer forms of legalization that is, various combinations of reduced precision, less stringent obligation, and weaker delegation. Soft legalization has a number of significant advantages, including that it is easier to achieve, provides strategies for dealing with uncertainty, infringes less on sovereignty, and facilitates compromise among differentiated actors. Although our approach is largely interest-based, we explicitly incorporate the normative elements that are central in law and in recent international relations theorizing. We also consider the important role of nonstate actors who, along with states, are central participants in contemporary international legalization. We illustrate the advantages of various forms of international legal arrangements with examples drawn from articles in this special issue and elsewhere. Miles KahlerLegalization of international institutions is often cast as a globalphenomenon driven, through a functionalist logic, by increasing economicintegration or the simple density of international relations in the latetwentieth century. An alternative view portrays legalization asspatially circumscribed. Institutions that display rules with highlevels of obligation and precision and that delegate rule interpretationand enforcement to third parties are heavily concentrated in West Europeand North America, a zone of long-standing liberal democracies and highlevels of economic integration. This concentration, and the regionalvariation in legalized institutions it implies, offers leverage inexplaining legalization in world politics. Closer examination ofregional variation also permits a better estimate of the benefits andcosts of legalized institutions in sustaining cooperative andpredictable outcomes for both governments and private of Reference of ASEAN Intrergovernmental Commission on Human RightsDerek McdougalMcDougal, Derek. Asia Pacific in World Politics. Boulder Lynne Rienner Publishers,2007. Term of Reference of ASEAN Intrergovernmental Commission on Human Rights Asean Human Rights Declaration GoldsteinMiles KahlerRobert O KeohaneAnne-Marie SlaughterASEAN Human Rights Declaration Goldstein, Judith., Miles Kahler, Robert O. Keohane and Anne-Marie Slaughter. International Organization. Volume 54, Number 3, Summer 2000. - Deklarasi Malino adalah perjanjian damai yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mempertemukan golongan Kristen dan Islam yang bertikai di Poso. Deklarasi Malino dilaksanakan pada 20 Desember 2001. Deklarasi ini bertujuan untuk menyatukan kaum Kristen dan Islam yang bertempur di Poso dalam konflik komunal yang terjadi sepanjang tahun 2000 hingga Deklarasi Malino ditandatangani kedua belah pihak, terbentuk dua komisi, yaitu Komisi Keamanan dan Penegakan Hukum dan Komisi Sosial Ekonomi. Baca juga Mengapa Perjanjian Renville Merugikan Indonesia? Latar Belakang Terjadinya Deklarasi Malino didasari untuk menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan, khususnya yang saat itu sedang terjadi di Poso. Konflik komunal di Poso pertama kali terjadi pada 24 Desember 1998. Insiden terjadi antara pemuda yang beragama Kristen dengan pemuda Muslim. Salah satu faktor yang menyebabkan konflik terjadi adalah persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas Kristen, dengan penduduk pendatang suku Bugis yang mayoritas Muslim. Berawal dari situ, konflik antarkeduanya terus berlangsung hingga bulan Mei 2000, yang menjadi pertempuran terbesar. Puncak konflik terjadi dalam peristiwa pembantaian di sebuah pesantren di Desa Sintuwulemba, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Baca juga Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Negara LainIsi Deklarasi Malino Oleh sebab itu, untuk mendamaikan kedua belah pihak, pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi Malino. Perjanjian ini mempertemukan pihak Kristen dan Muslim yang bertikai di Poso, dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Jusuf Kalla. Pada 20 Desember 2001, kedua belah pihak yang bertikai di Poso bersedia menandatangani perjanjian tersebut. Isi dari Deklarasi Malino adalah Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan darurat sipil, serta campur tangan pihak asing. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak hidup, datang, dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati, dan menaati segala aturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan lainnya. Baca juga Sakola Kautamaan Istri Latar Belakang dan Kiprah Dampak Dengan menyetujui 10 poin tersebut, dua komisi kemudian dibentuk, yaitu Komisi Keamanan dan Penegakan Hukum, serta Komisi Sosio-Ekonomi. Komisi Keamanan memiliki tua tanggung jawab, yaitu Harus difokuskan kepada pelucutan senjata dan pemulangan para pengungsi Dalam bidang penegakan hukum Komisi Sosio-Ekonomi bertanggung jawab untuk Upaya Rekonsiliasi Rehabilitasi Sosial Pemulangan Pengungsi Asuransi Keyakinan Hidup Rehabilitasi Fisik Normalisasi Aktivitas Ekonomi Warga Dukungan Sosial Mengembangkan program Induk Evaluasi dan Pemantauan Berkala Perkembangan Program Terkait untuk Semua Ini Selain itu, pemerintah pusat juga mengalokasikan dana untuk memulihkan kondisi Kabupaten Poso yang mencapai hingga 54 juta rupiah. Referensi McRae, Dave. 2013. A Few Poorly Organized Men Interreligious Violence in Poso, Indonesia. Power and Place in Southeast Asia. Leiden Brill. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bacalah paragraf berikut! Pemerintah dapat saja melakukan “deklarasi” telah membebaskan anak dari biaya sekolah, seperti SPP dan uang buku. Akan tetapi, uang pendaftaran belum masuk ke dalam komponen yang dibebaskan. Jika kita serius bermaksud mêncerdaskan kehidupan bangsa, sudah seharusnya pemerintah melakukan intervensi. Maksudnya, siapa pun yang mendaftar masuk SD dan SMP harus mampu. Caranya, semua kebutuhan sekolah, termasuk komponen yang dijadikan perhitungan dalam pendaftaran sekolah, harus ditanggung pemerintah. Kalau tidak, pemerintah berkewajiban membantu orang tua yang tidak mampu untuk mendaftarkan anaknya sekolah. Simpulan pendapat penulis pada cuplikan tajuk rencana tersebut adalah …. Unsur Negara – Setiap negara yang ingin mendapatkan pengakuan dari negara lain, setidaknya harus memenuhi unsur negara. Tanpa memenuhi seluruh unsur yang dibutuhkan, maka negara tersebut akan kesulitan mendapatkan pengakuan kedaulatan maupun kemerdekaan dari negara lainnya. Unsur pengakuan ini nantinya dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu secara defacto dan dejure. Apabila tidak memenuhi keduanya, maka tidak akan mendapatkan pengakuan secara penuh. Ini berlaku untuk seluruh negara di dunia tanpa terkecuali. Pengertian Unsur NegaraPengertian Defacto dan DejurePerbedaan Defacto dan Dejure Dalam Hukum dan Politik Internasional1. Durasi Waktu Pengakuan2. Hubungan Bilateral3. Pencabutan PengakuanUnsur-Unsur Negara secara Defacto1. Wilayah2. Rakyat3. Pemerintah yang BerdaulatUnsur-Unsur Negara secara DejureBentuk Pengakuan1. Pengakuan Terang-terangan dan Individual2. Pengakuan Kolektif3. Pengakuan Diam-Diam4. Pengakuan Mutlak5. Pengakuan Terpisah6. Pengakuan BersyaratFungsi Pengakuan Negara1. Fungsi Politik2. Fungsi Hukum Secara garis besar, unsur negara merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi negara mana saja untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain. Unsur ini juga dianggap sebagai syarat terbentuknya suatu negara. Artinya adalah jika belum terpenuhi, maka belum dianggap sebagai negara. Setiap negara tentunya harus berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan. Namun, sekarang ini sudah ada banyak negara yang sudah mendapatkan pengakuan dan sisanya masih berusaha mendapatkan pengakuan tersebut. Ada banyak keuntungan jika suatu negara sudah mendapatkan pengakuan. Pengertian Defacto dan Dejure Secara singkat, defacto dapat diartikan sebagai negara yang diakui sesuai dengan fakta yang ada atau nyata di lapangan. Sedangkan untuk dejure, dapat diterjemahkan sebagai negara yang diakui berdasarkan hukum dan ketentuan yang berlaku secara internasional. Baik pengakuan defacto maupun dejure, keduanya memiliki unsur yang terkandung di dalamnya. Seluruh unsur harus dipenuhi oleh negara yang ingin mendapatkan pengakuan secara nasional maupun internasional. Perbedaan Defacto dan Dejure Dalam Hukum dan Politik Internasional 1. Durasi Waktu Pengakuan Pada dasarnya untuk pengakuan secara defacto, memiliki jangka waktu sementara dan tetap. Kondisi ini bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi negara tersebut. Apabila kondisinya belum stabil, maka statusnya decato sementara, begitu juga sebaliknya. Sedangkan untuk pengakuan secara dejure ini sifatnya juga berubah-ubah. Dengan ketentuan bahwa negara tersebut telah memenuhi seluruh persyaratan dan hukum untuk turut serta dalam hubungan internasional dengan negara lain. 2. Hubungan Bilateral Dilihat dari hubungan bilateral antar negara, untuk pengakuan defacto, baik negara yang mendapatkan pengakuan maupun memberi pengakuan, keduanya belum bisa menjalin kerja sama secara bilateral. Dengan begitu, keduanya belum bisa menjalin kerjasama bidang ekonomi dan politik. Berbeda dengan pengakuan secara dejure, maka kedua negara sudah saling mengakui dan diakui, sehingga bisa menjalani kerjasama bilateral. Pengakuan dejure ini sangat penting karena nantinya akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan negara tersebut. 3. Pencabutan Pengakuan Sebagian orang mungkin belum mengetahui bahwa pengakuan secara defacto maupun dejure ini bisa dicabut sesuai dengan aturan tertentu. Pada pengakuan defacto, pencabutannya bisa kapan saja melalui pernyataan resmi dari negara yang memberikan pengakuan. Sedangkan untuk pencabutan pengakuan secara unsur negara dejure ini cukup sulit, karena harus sesuai dengan hukum internasional yang diberlakukan. Utamanya adalah negara yang ingin mencabut pengakuan ke negara lainnya. Unsur-Unsur Negara secara Defacto 1. Wilayah Wilayah yang dimaksud di sini tidak lain adalah wilayah dari negara tersebut dan masing-masing memiliki batas wilayahnya sendiri. Dalam hal ini perlu pemahaman secara geografis yang baik dan negara harus taat atau sesuai dengan batasan wilayah tersebut. Batasan wilayah negara ditetapkan dan diputuskan sesuai dengan hasil negosiasi internasional antar negara yang terlibat di wilayah tersebut. Keputusan ini nantinya akan tertuang dalam perjanjian hubungan bilateral maupun multilateral dari negara yang terlibat. Perbatasan setiap negara umumnya terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu darat, laut, dan udara. Setiap perbatasan akan dijaga ketat oleh masing-masing negara. Tujuan adanya pembatasan wilayah ini adalah untuk menghindari sengketa internasional. Pada perbatasan laut, Indonesia memiliki hukum laut teritorial, ZEE, zona tambahan, landas kontinen, laut pedalaman, hingga landas benua. Sedangkan untuk wilayah udara ditetapkan sesuai kesepakatan nasional, yaitu aliran kedaulatan udara di atas wilayah negara dan aliran udara bebas. 2. Rakyat Rakyat menjadi poin utama terbentuknya suatu negara. Sangat tidak mungkin suatu negara bisa berdiri dan berkembang jika tidak ada rakyat atau masyarakat yang hidup di wilayah tersebut. Dalam konteks ini, rakyat adalah kumpulan dari individu yang saling berinteraksi satu sama lain. Rakyat dianggap sebagai kelompok yang memiliki kekuatan atau power yang lebih besar jika dibandingkan pemerintah. Namun tetap saja, pemerintah menjadi acuan untuk kehidupan bermasyarakat yang adil dan sejahtera. Pada umumnya belum ada syarat khusus berapa jumlah rakyat yang dibutuhkan untuk menjadikan wilayah menjadi sebuah negara. Namun menurut Plato, suatu wilayah yang dihuni atau ditinggali oleh individu dengan jumlah atau lebih, maka sudah bisa disebut sebagai negara. Istilah rakyat tidak bisa disamakan dengan penduduk, karena penduduk adalah orang yang ingin menetap di negara atau wilayah tertentu. Sedangkan bagi yang tujuannya tidak ingin menetap, maka tidak bisa disebut penduduk. Ada istilah lain yang berhubungan dengan pengertian rakyat, yaitu A. Rumpun atau Ras Rumpun dapat diterjemahkan sebagai kumpulan individu yang menjadi kesatuan karena memiliki ciri-ciri jasmani yang sama antara satu dengan yang lain. Ciri jasmani yang dimaksud di antaranya ada warna kulit, gaya rambut, postur tubuh, dan lain sebagainya. Dari persamaan jasmani unsur negara ini, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa rumpun atau ras. Di Indonesia sendiri sebagian masyarakatnya merupakan rumpun Melayu. Di beberapa negara lain ada yang berumpun putih, kuning, dan sejenisnya. B. Bangsa Bangsa dapat diartikan sebagai kumpulan individu yang membentuk kesatuan dengan persamaan budaya. Contohnya di sini adalah adat istiadat, agama, dan sejenisnya. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang memiliki keragaman tersebut. C. Nazi Ketika mendengar kata Nazi, sebagian orang langsung berpikir tentang politik. Memang benar bahwa Nazi atau Natie di sini merupakan kumpulan dari individu yang bersatu karena kesamaan politik. Bagi kelompok ini, ciri jasmani maupun kebudayaan bukanlah syarat terbentuknya suatu bangsa. 3. Pemerintah yang Berdaulat Dalam konteks pemerintah, dapat diartikan sebagai lembaga yang menjalankan undang-undang dan mencakup lembaga negara lainnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan asas Trias Politica dalam menjalankan pemerintahannya. Adapun yang termasuk dalam Trias Politica adalah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setiap negara akan memiliki gaya pemerintahan yang berbeda-beda, baik itu dari segi penegakan hukum dan lain sebagainya. Tentunya seluruhnya dilakukan demi mencapai tujuan negara. Perlu dicatat bahwa berdaulat di sini adalah sebuah negara yang mampu mengendalikan pemerintahannya sendiri. Bukan negara yang didikte atau dikendalikan oleh negara lain dalam menjalankan pemerintahannya. Unsur-Unsur Negara secara Dejure Dejure merupakan pengakuan dari negara lain sesuai hukum dan ketentuan internasional. Inilah yang menjadi satu-satunya unsur negara secara dejure. Jika unsur ini terpenuhi, maka negara tersebut akan memiliki hak dan kewajiban bergabung dengan negara lainnya. Unsur defacto ini sifatnya deklaratif. Artinya adalah sebuah negara yang baru saja mendapatkan kemerdekaannya, maka perlu melakukan deklarasi. Tujuannya adalah agar negara lain dapat mengetahui keberadaan dan kedaulatan negara tersebut. Pengakuan dari negara lain ini nantinya akan dibuat secara tertulis dan legal sesuai dengan hukum internasional. Negara tersebut akan mendapatkan dua pengakuan secara internasional, yaitu konstitusional dan hukum, selanjutnya bisa ikut berpartisipasi dalam acara internasional. Bentuk Pengakuan Di atas memang telah dibahas tentang defacto dan dejure yang berhubungan dengan pengakuan sebuah negara. Namun, ternyata ada bentuk pengakuan lain yang mungkin masih jarang diketahui dan memiliki konteks yang tidak jauh berbeda. 1. Pengakuan Terang-terangan dan Individual Sesuai dengan namanya, pengakuan ini merupakan salah satu bentuk pengakuan berasal dari pemerintah atau badan yang memiliki wewenang mengurusi urusan luar negeri. Adapun contohnya adalah A. Perjanjian Internasional Jepang memberikan pengakuan kepada Korea pada 8 September 1951 yang dimasukkan dalam pasal 12 Peace Treaty. Perancis memberikan pengakuan kepada Laos pada 19 Juli 1949. Pada tahun yang sama, Perancis juga memberikan pengakuan Negara Kamboja pada 18 November. Pengakuan timbal balik yang terjadi antara Italia dengan Vatikan pada 14 Februari 1929 dan tertulis dalam pasal 26 Treaty of Latran. B. Nota Diplomatik Nota diplomatik merupakan suatu pernyataan atau dalam bentuk telegram. Menurut Mauna 2003, pengakuan ini umumnya hanya melibatkan negara yang memberikan pengakuan. Nota diplomatik ini diberikan oleh negara kepada negara yang sebelumnya pernah dijajah. Selain pernah dijajah, negara yang mendapatkan pengakuan itu pernah menjadi bagian dari negara tersebut. Contohnya di sini adalah kasus lama tentang Indonesia yang memberikan pengakuan kemerdekaan wilayah Timor Leste yang sebelumnya merupakan bagian dari NKRI. 2. Pengakuan Kolektif Pengakuan secara kolektif ini pada dasarnya terbagi menjadi dua bentuk. Pertama adalah bentuk pengakuan yang berupa deklarasi bersama kelompok negara tertentu. Contohnya di sini adalah pengakuan Negara Eropa secara kolektif yang terjadi tahun 1992 silam kepada tiga negara. Ketiga negara ini adalah Bosnia dan Herzegovina, Slovenia, dan Kroasia. Dimana ketiganya merupakan pecahan Yugoslavia. Bentuk kedua adalah sebuah pengakuan yang diberikan kepada negara lain dengan tujuan untuk menjadi bagian atau peserta dari perjanjian multilateral. Perjanjian seperti ini juga dikenal sebagai perjanjian damai antar negara tertentu. Pada dasarnya, untuk pengakuan kolektif bentuk kedua ini berhubungan dengan masuknya negara tertentu ke dalam suatu organisasi internasional. Keberadaan negara baru ini dianggap bisa menimbulkan masalah bagi negara yang memberikan pengakuan tadi. Oleh karena itulah, terjadilah pengakuan secara kolektif dengan tujuan bisa meredam atau meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan nantinya. 3. Pengakuan Diam-Diam Bentuk pengakuan ini bisa terjadi apabila negara tertentu mengadakan hubungan dengan negara baru dengan mengirimkan wakil diplomatik. Namun perlu dicatat, bahwa ada kondisi yang harus dipenuhi, yaitu indikasi nyata untuk mengakui negara tersebut sekalipun tidak memenuhi unsur negara. Contohnya di sini adalah hubungan antara Amerika Serikat dengan Cina. Seperti yang telah diketahui bahwa AS secara tidak resmi mengakui keberadaan RRC. Namun pada tahun 1955, kedua negara ini pernah melakukan perundingan di Perancis. Adapun hasil perundingannya adalah kantor penghubung antar kedua negara yang diresmikan pada akhir Mei 1973. Perundingan dan pembukaan kantor penghubung antar kedua negara inilah yang menjadi contoh pengakuan timbal balik secara diam-diam meski tidak ada pengakuan resmi. Contoh lainnya adalah dahulu Vatikan seringkali mengadakan hubungan dengan Israel di tingkat duta besar. Dahulunya kedua negara ini tidak memiliki hubungan diplomatik sekalipun. Lalu pada 30 Desember 1993 silam, Vatikan memberikan pernyataan pengakuan resmi kepada Israel. 4. Pengakuan Mutlak Sesuai dengan namanya, pengakuan mutlak merupakan suatu pengakuan yang diberikan oleh negara A kepada B dan pengakuan ini tidak bisa ditarik kembali. Pada dasarnya pengakuan mutlak ini sama dengan pengakuan dejure. Ini sudah sesuai dengan hukum internasional yang berlaku dan hingga saat ini sangat jarang terjadi penarikan kembali pengakuan secara mutlak. Pasalnya, untuk bisa melakukan penarikan pengakuan membutuhkan persyaratan khusus yang dianggap cukup sulit. 5. Pengakuan Terpisah Bentuk pengakuan ini bisa saja diberikan kepada negara baru. Kata “terpisah” di sini ditujukan untuk memberikan pengakuan kepada negara baru, namun tidak untuk pemerintahannya. Bisa juga sebaliknya, yaitu memberikan pengakuan kepada pemerintahannya, namun tidak untuk negara. Dapat disimpulkan bahwa pengakuan terpisah ini merupakan pengakuan yang sifatnya belum penuh. Apabila suatu negara ingin mendapatkan pengakuan secara penuh, maka harus memenuhi seluruh unsur negara yang telah dijelaskan sebelumnya. 6. Pengakuan Bersyarat Sesuai dengan namanya, pengakuan ini diberikan kepada negara tertentu jika negara tersebut telah memenuhi syarat yang diberikan kepada negara yang memberikan pengakuan. Menurut Hall, pengakuan ini terbagi lagi menjadi dua macam. Pertama ada pengakuan yang diberikan apabila sudah memenuhi persyaratan, kedua adalah pengakuan yang syaratnya harus dipenuhi setelah diberikannya pengakuan tersebut. Baik untuk jenis pengakuan bersyarat pertama maupun kedua, keduanya sama-sama memiliki tingkat kesulitan. Pada jenis pertama, setiap negara harus memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, barulah diakui. Sedangkan untuk jenis kedua, negara bisa saja tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan. Namun, nantinya berakibat pada hubungan diplomatik antar kedua negara. Fungsi Pengakuan Negara Unsur negara dianggap sebagai syarat secara hukum nasional agar suatu negara tertentu mendapatkan pengakuan dari negara lain. Di balik semua itu, ternyata ada fungsi dari pengakuan negara ini. 1. Fungsi Politik Fungsi politik merupakan pengakuan yang didapatkan suatu negara dan ini menjadi titik bahwa negara tersebut diterima secara internasional. Dalam hal ini negara yang mendapatkan pengakuan akan diawasi segala tindakannya. Negara yang mendapatkan pengakuan juga akan mendapatkan konsekuensi politik yang tegas dari negara yang memberikan pengakuan jika terjadi hal-hal yang diluar kendali. Inti dari fungsi ini adalah untuk menjalin hubungan secara politik sesuai kebutuhan negara. Fungsi politik ini juga memiliki sifat yang tidak konstan. Dalam arti, bisa saja suatu negara kehilangan fungsi pengakuan secara politik karena adanya masalah yang ditimbulkan oleh negara tersebut. Jika sudah demikian, maka akan sulit untuk mendapatkan pengakuan lagi. 2. Fungsi Hukum Berbeda dengan fungsi politik, untuk hukum ini didapatkan setelah negara tersebut mendapatkan pengakuan secara formal dan sah dalam menggunakan atribut kenegaraannya untuk berinteraksi dengan negara lain, utamanya adalah negara yang memberikan pengakuan. Dalam hal ini, negara baru akan memiliki pengaruh besar terhadap hukum domestik negara yang memberikan pengakuan. Pada fungsi hukum ini nantinya juga akan berkaitan dengan keamanan internasional. Negara yang mendapatkan pengakuan akan ikut serta dalam menjalankan kewajiban internasional. Tentunya kewajiban internasional ini harus dijalankan sesuai dengan kaidah dan aturan yang diberlakukan. Dengan adanya dua fungsi pengakuan ini, secara otomatis akan menunjukkan bahwa negara yang mendapatkan pengakuan telah memiliki hak dan kewajiban hukum sesuai dengan hukum internasional. Kesimpulan dari rangkaian pembahasan ini adalah suatu negara diakui oleh negara lain jika telah memenuhi seluruh unsur negara yang telah ditetapkan secara internasional. Ada juga pengakuan kepada negara lain dalam bentuk yang berbeda sesuai dengan kondisi dan kebijakan tertentu. Baca Juga Macam Teori Kedaulatan Negara Macam Teori Kekuasaan Negara Asal Usul Negara Home Advertorial Nasional Minggu, 18 Juli 2021 - 2026 WIBloading... Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah A A A JAKARTA - Kalangan pimpinan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh SP/SB meyakini Deklarasi Gotong Royong yang melibatkan Pemerintah, Kadin, Apindo, dan Pekerja/Buruh, bakal memberikan dampak signifikan bagi pekerja/buruh dalam menghadapi masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat PPKM Darurat Covid-19 di wilayah Jawa-Bali. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja BUMN, Ahmad Irfan Nasution, mengatakan, Deklarasi Gorong Royong menghadapi PPKM Darurat ini banyak memberikan manfaat bagi teman-temen pekerja/buruh. Salah satunya melalui kolaborasi pengusaha, industri, dan pekerja/buruh bersama pemerintah, diyakini akan dapat menurunkan angka kasus Covid-19 dan menyelamatkan para pekerja serta keluarganya dari terpapar Covid-19. "Jika angka kasus Covid-19 sudah landai kembali, maka ketenangan dalam bekerja dapat kembali diperoleh dan produktivitas pun semakin meningkat. Mudah-mudahan Deklarasi Gotong Royong ini dapat memenangkan Indonesia. Indonesia bangkit kembali, " kata Ahmad Irfan di Jakarta, Minggu 16/72021 Ahmad Irfan menambahkan, komitmen melalui Deklarasi Gotong Royong di tengah kebijakan PPKM dan percepatan vaksinasi Covid-19 perlu didukung masyarakat. Untuk itu, Ahmad Irfan mengajak semua elemen anak bangsa saat ini harus ikut aktif melakukan langkah-langkah mengendalikan pandemi Covid-19. Sebab tujuan Deklarasi Gotong Royong adalah mengatasi tantangan ketenagakerjaan yang dilandasi semangat saling peduli, optimis, dan bersama-sama bangkit dari dampak pandemi Covid-19. "Kehadiran pekerja/buruh dalam deklarasi kemarin, sebagai bukti buruh/pekerja siap berkolaborasi dengan pengusaha dan pemerintah dalam rangka menyukseskan PPKM Darurat dan vaksinasi," katanya Ahmad Irfan jug meyakini partisipasi buruh/pekerja dalam situasi PPKM Darurat sebagai solusi bahwa pandemi Covid-19 yang telah menyerang Indonesia sejak awal tahun lalu hingga kini, harus diatasi secara serentak, dan tidak bisa dilawan secara parsial. "Semua upaya ini tidak bisa dijalankan secara parsial. Tapi harus dilakukan secara serentak bersama-sama dengan melibatkan pengusaha dan pekerja sebagai tanggung jawab dan persoalan bersama. Kami hadir dilandasi semangat saling peduli, optimis, dan bersama-sama bangkit dari dampak pandemi Covid-19. Terakhir, kami memohon kepada BUMN dan seluruh pengusaha untuk tidak memotong hak hak pekerja selama PPKM ini," kata Ahmad Irfan Nasution. Sementara Ketua Umum KSPSI, Yorrys Raweyai, menyatakan bahwa Deklarasi Gotong Royong PPKM Darurat yang ditandatangani oleh Kementerian Ketenagakerjaan, Pengusaha Kadin dan Apindo, serta Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia/KSPSI adalah bentuk kesamaan visi dan misi tiga pilar dalam hubungan industrial. Deklarasi ini sekaligus menjadi bangunan semangat antara ketiganya dalam merespons berbagai tantangan ketenagakerjaan di masa-masa pandemi Covid-19. Menurut Yorrys, eskalasi pandemi yang semakin meningkat tajam dengan berbagai dampak yang dimunculkan, berkorelasi langsung dengan tatanan kehidupan masyarakat. Tidak hanya pada tenaga kerja, tapi juga pada sektor usaha serta pemerintah sebagai regulator. "Semua akibat tersebut sejatinya menjadi tanggung jawab bersama dan membutuhkan repons yang arif dan bijaksana dari para stakeholder," ucap Yorrys. kemenaker deklarasi gotong royong ppkm darurat covid-19 Baca Berita Terkait Lainnya Berita Terkini More 4 menit yang lalu 33 menit yang lalu 39 menit yang lalu 1 jam yang lalu 2 jam yang lalu 2 jam yang lalu

pemerintah dapat saja melakukan deklarasi